Horor thriller yang
berhasil dengan jalinan cerita yang cermat. Menegangkan dan tak sekedar seram.
Buat saya, film
terbaru karya Upi ini membuat Modus
Anomali-nya Joko Anwar jadi tampak biasa saja. Entah kenapa, film ini
berasa lebih sadis, lebih tegang, lebih kompleks, dan lebih asik. Semua disain produksi
saling dukung dengan kompak, dari mulai cerita, karakter, akting, musik, hingga
properti. Upi sah jadi salah satu sutradara horor yang tak boleh dianggap
remeh.
Adegan dibuka dengan nuansa klasik, seorang peremppuan
menyetir mobil dengan lagu jadul. Di sudut yang lain, seorang laki-laki sedang
berlari menembus hutan dalam ketakutan. Musik pengiring di dua scene ini saling
silang; yang satu riuh, satunya tegang. Di satu scene, mereka bertemu.
Laki-laki itu Elang (Abimana Arya). Seorang pekerja bar yang
sedang ketakutan karena, “pembunuh itu masih berkeliaran” di dalam kota. Dan
perempuan pengendara mobil yang ada di adegan pembuka itu namanya Jingga
(Imelda Therine), yang sering ia temui di kehidupan nyata juga dalam mimpi.
Elang tinggal di rumah susun. Tetangganya, adalah keluarga
yang dihuni oleh si kecil Senja, Djenar (Laudya C Bella) dan Guntur (Verdi Soelaiman).
Dari narasinya, Senja adalah salah satu alasan buat Elang kembali ke rumah.
Berkali-kali ia mimpi buruk, Djenar dan Senja dibunuh oleh sosok berkostum
Kelinci. Dugannya sosok menyeramkan tersebut adalah Guntur.
Mimpi-mimpi buruk itu terus menghantui. Dan setiap orang
saling mencurigai. Elang adalah tertuduh. Tapi siapa sebenarnya Jingga? Siapa
Djenar dan Senja? Siapa pembunuh sebenarnya.
Dalam kebingungan itu, Elang berhubungan dengan tiga
penjahat yang diduga pemerkosa, seorang ibu Jawa yang kehilangan anak
perempuannya dan dua orang polisi intel yang sedang investigasi. Semua jadi
kompleks tapi satu persatu kebenaran itu mulai terungkap.
Tegang
Sudah tegang dengan cerita bunuh-bunuhan dan mimpi buruk di
atas? Kalau belum, nontonlah. Layer demi layer cerita yang dibangun Upi sungguh
menarik. Duduk dan jangan berkedip (atau sebenarnya tidak akan dibiarkan untuk
lengah). Karena sebentar saja, Anda akan kehilangan clue, atau kunci dari
cerita.
Efek tegang disampaikan Upi tidak hanya dari hantu-hantuan.
Tapi tekanan dan emosi batin dari setiap pemeran. Elang yang dimainkan Abimana
adalah kunci utama. Tapi Jingga, Djenar, Senja dan Ibu-ibu Jawa (Jajang C Noer)
tak kalah membuat tegang dan seram.
Duh, darah-darah yang berceceran dimana-mana itu memang
sadis. Tapi, bukan itu intinya. Dengan cerdas, ketika penonton sudah di titik
muak dan ngeri, Upi membuat turunan. Musik diayun, dan hadirlah sosok-sosok
tanpa dosa. Tapi jangan menilai dari tampilan. Upi banyak mengecoh di filmnya
ini.
Ah, kalau diteruskan menuliskan ini, saya takut hanya akan
memuji. Tapi beneran. Sudah lama rasanya, tidak menikmati nonton film horor
atau aksi yang asik setelah Modus Anomali, The Raid, dan Rumah Dara. Saya tidak
begitu menikmati film produksi Maxima, atau K2K. Kalau boleh menyarankan,
mereka mestinya menonton Belenggu dan melihat bahwa seorang Upi saja bisa
dengan cerdas menulis dan menyutradarai film horor, tanpa hantu (catat, tanpa
hantu). Kenapa mereka masih saja memproduksi film horor yang asal jadi.
Entah kenapa juga, buat saya Belenggu seperti film horor
dari Hollywood yang setiap adegan memberi subplot dan sedikit demi sedikit ia
menyingkap rahasia. Bermain-main dengan tebakan ini adalah jurus ampuh untuk
membuat penonton setia di tempat duduknya. Dan dengan cerdas pula memberi twist
tak terduga. Di luar ekspektasi.
Saya jadi tak sabar menunggu film Upi yang lain. Sungguh!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar