Entri Populer

Selasa, 05 Maret 2013

Belenggu




Horor thriller yang berhasil dengan jalinan cerita yang cermat. Menegangkan dan tak sekedar  seram.

Buat saya, film terbaru karya Upi ini membuat Modus Anomali-nya Joko Anwar jadi tampak biasa saja. Entah kenapa, film ini berasa lebih sadis, lebih tegang, lebih kompleks, dan lebih asik. Semua disain produksi saling dukung dengan kompak, dari mulai cerita, karakter, akting, musik, hingga properti. Upi sah jadi salah satu sutradara horor yang tak boleh dianggap remeh.

Adegan dibuka dengan nuansa klasik, seorang peremppuan menyetir mobil dengan lagu jadul. Di sudut yang lain, seorang laki-laki sedang berlari menembus hutan dalam ketakutan. Musik pengiring di dua scene ini saling silang; yang satu riuh, satunya tegang. Di satu scene, mereka bertemu.




Laki-laki itu Elang (Abimana Arya). Seorang pekerja bar yang sedang ketakutan karena, “pembunuh itu masih berkeliaran” di dalam kota. Dan perempuan pengendara mobil yang ada di adegan pembuka itu namanya Jingga (Imelda Therine), yang sering ia temui di kehidupan nyata juga dalam mimpi.


Elang tinggal di rumah susun. Tetangganya, adalah keluarga yang dihuni oleh si kecil Senja, Djenar (Laudya C Bella) dan Guntur (Verdi Soelaiman). Dari narasinya, Senja adalah salah satu alasan buat Elang kembali ke rumah. Berkali-kali ia mimpi buruk, Djenar dan Senja dibunuh oleh sosok berkostum Kelinci. Dugannya sosok menyeramkan tersebut adalah Guntur.
Mimpi-mimpi buruk itu terus menghantui. Dan setiap orang saling mencurigai. Elang adalah tertuduh. Tapi siapa sebenarnya Jingga? Siapa Djenar dan Senja? Siapa pembunuh sebenarnya.
Dalam kebingungan itu, Elang berhubungan dengan tiga penjahat yang diduga pemerkosa, seorang ibu Jawa yang kehilangan anak perempuannya dan dua orang polisi intel yang sedang investigasi. Semua jadi kompleks tapi satu persatu kebenaran itu mulai  terungkap.
Tegang 
Sudah tegang dengan cerita bunuh-bunuhan dan mimpi buruk di atas? Kalau belum, nontonlah. Layer demi layer cerita yang dibangun Upi sungguh menarik. Duduk dan jangan berkedip (atau sebenarnya tidak akan dibiarkan untuk lengah). Karena sebentar saja, Anda akan kehilangan clue, atau kunci dari cerita.


Efek tegang disampaikan Upi tidak hanya dari hantu-hantuan. Tapi tekanan dan emosi batin dari setiap pemeran. Elang yang dimainkan Abimana adalah kunci utama. Tapi Jingga, Djenar, Senja dan Ibu-ibu Jawa (Jajang C Noer) tak kalah membuat tegang dan seram.
Duh, darah-darah yang berceceran dimana-mana itu memang sadis. Tapi, bukan itu intinya. Dengan cerdas, ketika penonton sudah di titik muak dan ngeri, Upi membuat turunan. Musik diayun, dan hadirlah sosok-sosok tanpa dosa. Tapi jangan menilai dari tampilan. Upi banyak mengecoh di filmnya ini.
Ah, kalau diteruskan menuliskan ini, saya takut hanya akan memuji. Tapi beneran. Sudah lama rasanya, tidak menikmati nonton film horor atau aksi yang asik setelah Modus Anomali, The Raid, dan Rumah Dara. Saya tidak begitu menikmati film produksi Maxima, atau K2K. Kalau boleh menyarankan, mereka mestinya menonton Belenggu dan melihat bahwa seorang Upi saja bisa dengan cerdas menulis dan menyutradarai film horor, tanpa hantu (catat, tanpa hantu). Kenapa mereka masih saja memproduksi film horor yang asal jadi.


Entah kenapa juga, buat saya Belenggu seperti film horor dari Hollywood yang setiap adegan memberi subplot dan sedikit demi sedikit ia menyingkap rahasia. Bermain-main dengan tebakan ini adalah jurus ampuh untuk membuat penonton setia di tempat duduknya. Dan dengan cerdas pula memberi twist tak terduga. Di luar ekspektasi.
Saya jadi tak sabar menunggu film Upi yang lain. Sungguh!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar