“Gue gak mau mati
sebelum mimpi gue terwujud, ke Eropa.” –marsha
Sudah lama rasanya
tidak menonton film perjalanan yang menarik setelah 3 Hari untuk Selamanya dan Rayya. Bedanya, film Laura dan Marsha
memilih jalur berbeda, lewat dua sahabat yang menelusuri indahnya Eropa. Tentu saja
dengan konflik antar keduanya yang naik turun dan selama itu saya menikmatinya.
Menonton ini seperti disadarkan bahwa benar adanya kalau
sahabat itu kayak pacar. Ada kalanya kita bertengkar hebat lalu ngambekan, tapi
ujung-ujungnya kehilangan sahabat itu tidak enak. Teman dan pacar boleh datang
dan pergi, tapi sahabat tidak. Ia, orang lain tidak sedarah yang akan tetap ada
di sana.
Mungkin kira-kira itulah yang ingin disampaikan sutradara Dinna
Jasanti lewat skrip yang ditulis Titien Watimena ini. Dan buat saya, film ini berhasil
menyampaikan pesannya. Laura dan Marsha yang untungnya diperankan oleh dua
aktris yang brilian, seperti Prisia Nasution (Sang Penari) dan Adinia Wirasti
(3 Hari untuk Selamanya) berhasil membuat saya duduk menonton dengan ikut tertawa,
excited dan sedih lalu tertawa lagi.
Dari sepuluh menit pertama, kita sudah mengenal karakter
Laura (Prisia) dan Marsha (Adinia) yang jauh berbeda. Laura, seorang ibu dari
satu anak yang feminin, naif dan hidup dalam aturan-aturan. Sementara Marsha,
sedikit maskulin, dinamis dan bebas tanpa beban aturan.
Laura, seorang
pekerja di tour travels yang mengurusi tiket penerbangan dan akomodasi.
Rambutnya terurai panjang, dengan sesekali dia kerap menyelipkannya di balik
telinga. Marsha, seorang penulis, sahabatnya dari SMA mengajaknya untuk
traveling ke Eropa. Awalnya Laura enggan, sampai satu insiden membuatnya
mengiyakan ajakan itu.
Tentunya Laura punya rules. Rute yang dijalani sesuai dengan
yang sudah direncanakan, yakni Amsterdam, Jerman, Austria dan Italia. Maka
gambar-gambar indah dari empat negara di Eropa ini pun menjadi lanskap set yang
memanjakan mata.
Taman luas dengan burung-burung terbang bebas, padang rumput
luas, matahari yang tenggelam dengan langit penuh warna, serta bangunan klasik
khas Eropa.
Konflik mengalir
ketika satu demi satu perbedan antara keduanya muncul. Seperti ada orang asing
bernama Finn yang diajak serta Marsha, tapi Laura tidak bersedia. Tersesat di
jalan, dan kehilangan tas, dan sebagainya. Hingga klimaks ketika
semua memuncak dan termuntahkan, segala yang dipendam.
Dengan skrip yang cukup matang dan menyentuh, film Laura
& Marsha mengalir dengan baik. Seperti sudah terjalin rapi, dan kita tidak
hanya diajak menikmati melancong ke Eropa, tapi juga mengenali karakter dua
sahabat yang punya masalah yang dekat dan logis.
Bagi yang suka traveling, pasti sangat akrab dengan budget,
menyiasati akomodasi, dan bertahan hidup ala backpacker. Atau mencari kerja
sebagai imigran gelap yang sembunyi-sembunyi. Lebih luas, sebenarnya Laura
& Marsha mengusung masalah yang lebih besar, yakni tentang makna hidup.
Seperti kata Marsha, bahwa kita akan benar-benar bebas saat
kehilangan segalanya, dan mulai menjalani hidup dengan ikhlas, nothing to lose. Atau, lebih baik
menghadapi kenyataan daripada mengayal dan mengira-ngira. Kita harus berani menghadapi
rasa takut.
Andai saja adegan Laura menangis itu lebih dieskplor, tentunya
saya akan turut menitikkan air mata. Tapi sayangnya tidak. Dan saya masih bisa
tertawa tapi ada yang hangat mengalir ketika usai menonton. *
Film ini diputar sebagai film pembuka dalam festival seni ARTE Indonesia, 26 Maret 2013 di fX XXI.program director John Badalu. akan tayang di bioskop pada 30 Mei 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar