Entri Populer

Sabtu, 30 Maret 2013

Laura & Marsha: Asik, Seru dan Penuh Makna




“Gue gak mau mati sebelum mimpi gue terwujud, ke Eropa.” –marsha

 Sudah lama rasanya tidak menonton film perjalanan yang menarik setelah 3 Hari untuk Selamanya dan Rayya. Bedanya, film Laura dan Marsha memilih jalur berbeda, lewat dua sahabat yang menelusuri indahnya Eropa. Tentu saja dengan konflik antar keduanya yang naik turun dan selama itu saya menikmatinya. 


Menonton ini seperti disadarkan bahwa benar adanya kalau sahabat itu kayak pacar. Ada kalanya kita bertengkar hebat lalu ngambekan, tapi ujung-ujungnya kehilangan sahabat itu tidak enak. Teman dan pacar boleh datang dan pergi, tapi sahabat tidak. Ia, orang lain tidak sedarah yang akan tetap ada di sana. 

Mungkin kira-kira itulah yang ingin disampaikan sutradara Dinna Jasanti lewat skrip yang ditulis Titien Watimena ini. Dan buat saya, film ini berhasil menyampaikan pesannya. Laura dan Marsha yang untungnya diperankan oleh dua aktris yang brilian, seperti Prisia Nasution (Sang Penari) dan Adinia Wirasti (3 Hari untuk Selamanya) berhasil membuat saya duduk menonton dengan ikut tertawa, excited dan sedih lalu tertawa lagi. 

Dari sepuluh menit pertama, kita sudah mengenal karakter Laura (Prisia) dan Marsha (Adinia) yang jauh berbeda. Laura, seorang ibu dari satu anak yang feminin, naif dan hidup dalam aturan-aturan. Sementara Marsha, sedikit maskulin, dinamis dan bebas tanpa beban aturan. 








 Laura, seorang pekerja di tour travels yang mengurusi tiket penerbangan dan akomodasi. Rambutnya terurai panjang, dengan sesekali dia kerap menyelipkannya di balik telinga. Marsha, seorang penulis, sahabatnya dari SMA mengajaknya untuk traveling ke Eropa. Awalnya Laura enggan, sampai satu insiden membuatnya mengiyakan ajakan itu. 

Tentunya Laura punya rules. Rute yang dijalani sesuai dengan yang sudah direncanakan, yakni Amsterdam, Jerman, Austria dan Italia. Maka gambar-gambar indah dari empat negara di Eropa ini pun menjadi lanskap set yang memanjakan mata. 

Taman luas dengan burung-burung terbang bebas, padang rumput luas, matahari yang tenggelam dengan langit penuh warna, serta bangunan klasik khas Eropa. 

Konflik mengalir ketika satu demi satu perbedan antara keduanya muncul. Seperti ada orang asing bernama Finn yang diajak serta Marsha, tapi Laura tidak bersedia. Tersesat di jalan, dan kehilangan tas, dan sebagainya. Hingga klimaks ketika semua memuncak dan termuntahkan, segala yang dipendam. 

Dengan skrip yang cukup matang dan menyentuh, film Laura & Marsha mengalir dengan baik. Seperti sudah terjalin rapi, dan kita tidak hanya diajak menikmati melancong ke Eropa, tapi juga mengenali karakter dua sahabat yang punya masalah yang dekat dan logis. 

Bagi yang suka traveling, pasti sangat akrab dengan budget, menyiasati akomodasi, dan bertahan hidup ala backpacker. Atau mencari kerja sebagai imigran gelap yang sembunyi-sembunyi. Lebih luas, sebenarnya Laura & Marsha mengusung masalah yang lebih besar, yakni tentang makna hidup.
Seperti kata Marsha, bahwa kita akan benar-benar bebas saat kehilangan segalanya, dan mulai menjalani hidup dengan ikhlas, nothing to lose. Atau, lebih baik menghadapi kenyataan daripada mengayal dan mengira-ngira. Kita harus berani menghadapi rasa takut. 

Andai saja adegan Laura menangis itu lebih dieskplor, tentunya saya akan turut menitikkan air mata. Tapi sayangnya tidak. Dan saya masih bisa tertawa tapi ada yang hangat mengalir ketika usai menonton. *

Film ini diputar sebagai film pembuka dalam festival seni ARTE Indonesia, 26 Maret 2013 di fX XXI.program director John Badalu. akan tayang di bioskop pada 30 Mei 2013. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar