Entri Populer

Sabtu, 15 September 2012

Mama Cake



Sebaiknya, jangan remehkan film Indonesia. Jangan.

Dan jangan nonton, kalau gak siap untuk ditampar dengan keras! Ini film Indonesia yang berhasil bikin bengong dan kehabisan kata-kata untuk menjelaskannya.












Judul review ini memang kelewat panjang tapi begitulah kalau sudah menonton film yang dari judulnya saja sebenarnya tidak menarik. Masak Mama Cake, ini film tentang orang yang jual atau bikin kue? Posternya juga biasa saja, ada tiga orang aneh berdiri menghadap kamera. Yang cukup terkenal paling Ananda Omesh karena kebetulan dia sering wara-wiri di televisi. Sutradaranya siapa: Anggy Umbara. Nah, siapa pula itu. Saya tahunya Garin Nugroho, Hanung Bramantyo dan Joko Anwar. Ah pasti film biasa saja. 

Begitulah awalnya saya menonton film Mama Cake. Tanpa pretensi dan ekspektasi yang biasa saja. Kebetulan diajak nobar sama Rivki dan @moviegoersID, gratis. Plus ada teman setia nonton Debi. Siapa tahu ketemu Omesh, dia lumayan charming. Untuk filmnya sendiri, saya sudah liat trailernya, gak jelek-jelek amat, setidaknya ada efek animasi dan editing gambar yang membuat beda. 

http://www.youtube.com/watch?v=uBUXSsK3pk4

Di layar saya lihat Mama Cake lulus sensor. Written and Directed by Anggy Umbara. Oh oke, ini personal touch!
,,,
2 setengah jam berlalu.
,,,
It slaps me on the face. Many times. Yeah, It does. Many times.
,,,
Saya bengong. Saya shock.  



Pas jalan pulang baru saya sadar, itu film 2,5 jam, tapi kok gak berasa. Dan saya kok malah bengong? Ada apa ini? Oh shit, Anggy Umbara. Shit. Who are you, slap me on the face with that kind of mind blowing movies? (agaknya saya mulai ketularan Willy yang ngmong Indo-English dan dimainkan dengan asik sekali oleh Boy William). 

Saya mencari penegasan kolektif dengan bertanya pada penonton lain. 

“Gimana bi’ filmnya” saya bertanya pada Debi yang pernah kuliah di Bandung dan beragama Kristen. 

“Bagus. Slap me on the face.’

“Me too”.

Saya sempat kepikiran debi akan berkomentar lain, karena di film Mama Cake kental sekali ajaran agamanya terutama soal islam. Bahkan dalam satu scene ada penjelasan lengkap tentang ibadah salat. Intinya, Anggy Umbara mengambil plot ajaran agama yang mendekatkan penontonnya pada agama, dan kebetulan dalam film ini Islam. 

Saya tidak tahu pasti apa yang dipikirannya debi, tapi setidaknya dia juga sangat antusias dan memuji. Awalnya saya sempat ragu, kalau saja dia tidak suka. Saya lupa kalau debi adalah teman yang paling openminded yang pernah saya punya. 

Tentang Mama Cake 

c/kopipakegula.wordpress.com
Ceritanya, Rakha (Omesh) diminta papanya ke bandung untuk beli brownies Mama Cake sebagai permintaan terakhir neneknya yang sedang sekarat di RS. Willy (Boy William) dan Rio (Arie Daginks) dua sahabat kentalnya bersemangat menemani. Di layar ada tiga potongan gambar saling silang, Rakha, Willy dan Rio. Lalu angka 5.35. Subuh. Dan brownies itu harus sampai di RS pukul 1 siang. Artinya mereka hanya punya waktu kurang dari 7 jam. 


10 menit pertama, Rakha, Willy dan Rio berbincang berdebat soal film nasional favorit mereka. 

“The Notes of the Boy” ujar Willy
“Ha?”
“Catatan si Boy!.”
“Oh. Kalau gue, G 30 S PKI. Karena berhasil menipu 270 juta rakyat Indonesia. ” Rakha 

,,,jeda

“AADC. Karena di dalamnya ada unsur penting, yaitu Cinta!” Ujar Rio mantap.

Masing-masing berargumen. Dan semua komentar yang keluar sangat cepat, kamera bergerak dinamis. Memancing rasa ingin tahu. Dan tertawa di setiap komen yang ironis. Itu tamparan pertama yang membuat saya shock. 

 “Monyet adalah nenek moyang manusia, itu kan yang dibilang Darwin.”
“ Saya tidak sepakat, karena dalam ajaran agama, Adam lah manusia pertama. Jadi tidak ada kaitannya dengan monyet.”

Tamparan kedua.
“Sapi! Cinta!”
Tiba-tiba saja Rio membuka pintu mobil yang sedang melaju dan berhenti di padang rumput yang ada sapi dan kambing.
“Ini cinta. CE I EN TE A.” Teriaknya keras pada sapi-sapi dan kambing. 

Tamparan ketiga.
“Saya menyatu dengan alam, dengan api, angin dan tanah.”
“Mau menyatu dengan air?”
“Mau.”
“ikut saya” Fajar mengajak Rio ke masjid dan ambil wudhu!

Tamparan keempat.
Dan seterusnya terus terjadi berulang kali. 

Perjalanan ke Bandung untuk amanah membeli Mama Cake menjadi perjalanan yang memberi pelajaran pada ketiga karakter. Rakha dengan ujian kedewasaannya, Willy dengan kenakalannya dan Rio pada pencarian akan makna cintanya. Dan ketiganya juga diuji sebatas mana persahabatan mereka.
Semua saling silang. 

Saya seperti diajak tertawa. Menangis. Tertawa lagi. Menangis lagi.
Editing dengan gerak kamera yang dinamis dan animasi di sana sini membuat asik.
Sampai akhir film, saya termenung. Merenung. Ada bagian yang sebenarnya membuat saya tertampar dengan keras. 

“Binatang saja ada fungsinya di dunia ini, nah elo fugsi lo apa?” teriak Rio pada Rakha, yang seolah juga jadi pertanyaan keras pada penonton. 

Perjalanan ketiganya bertemu dengan pengalaman-pengalaman yang tak terduga dari pemeran yang asik, seperti Lolly (Renata Kusmanto), Mawar (Dinda Kanya Dewi), Kinaryosih, Bagus NEtral, Candil Seurius, Didi Petet, dan si annoying Tommy.

Pesan 


Kalau orang banyak bertanya film harus bawa pesan moral. Tidak perlu muluk-muluk, film sudah membawa pesannya sendiri saat diputar di layar. Gambar yang berbicara akan menempel di ingatan. Begitu juga narasi dan dialognya. Karena penuh dengan sindiran dan ironi, perlu pikiran yang terbuka untuk memahaminya. 

Mama Cake mengalir dengan dialog yang cerdas. Saat ketiga karakter utama itu berdebat saya seketika membayangkan Dimas-Reuben dalam Supernova. Omongannya seolah ringan tapi sebenarnya berat. Tentang hidup, sains dan keterkaitannya. 

Siapapun yang menuliskan skrip ini saya angkat topi. Karena begitu cerdas dan menampar setiap orang yang mendengarkannya. Dari mulai masalah hidup, ukuran kedewasaan, mencintai alam, persahabatan, hubungan dengan sesama manusia dan tuhan, tentang amanah, rasa santun, makna cinta, hingga kesempatan kedua. Siapa sih penulis naskah ini, saya benar-benar angkat topi. OH ya, seseorang bernama Anggy Umbara, yang menulisnya.
,,,
Di saat saya bengong saya mencari tahu siapa Anggy Umbara. Banyak pertanyaan yang menempel di kepala. Aha, saya menemukannya. 

“Kita perlu sesi Q and A untuk Mama Cake kayaknya,” Tanya saya via twitter @anggy_umbara.
“Yuks,” balasnya. Saya bersorak.
“Berapa lama mas bikin naskah untuk Mama cake? Motivasinya apa? “
“Enam tahun. Efisiennya enam bulan dengan ralat-ralat. ... jadi manfaat.” Jawabnya singkat.
“Kenapa warna daun yang hijau jadi biru, maksudnya apa. Rasa sukur kah?”
“Ilmu”
“Kenapa tomat? Bukan apel. pengetahuankah?’
“Tobat”
“Mama cake itu amanah, benar”
“Bisa”
“Sosok yang dibawain fajar itu malaikat maut?
“Bisa, tapi bukan.”
Obrolan itu tidak menjawab semua pertanyaan dan rasa shock saya.
Saya ingin menontonnya lagi. Untuk kali pertama saya merasa masa depan film Indonesia makin cerah. Makin asik. 

Pelajaran pentingnya, do not ever underestimate Indonesian movie anymore. DO NoT. Khususnya untuk film satu ini. 


Memang benar, bahwa kita tidak akan pernah tahu bagus tidaknya sebuah buku dari cover dan testimoni di sampulnya, tapi harus dibaca. Begitu juga film. Kita tidak akan tahu bagus tidaknya dari poster dan siapa sutradaranya, kalau tidak ditonton. 

Saya masih bengong!

Tiba-tiba ada mention masuk di akun twitter saya. dari seorang teman. 

Really? wah, saya meremehkan padahal ditawari tiket gratis tadi.  *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar