Sebaiknya, jangan remehkan film
Indonesia. Jangan.
Dan jangan
nonton, kalau gak siap untuk ditampar dengan keras! Ini film Indonesia yang berhasil bikin
bengong dan kehabisan kata-kata untuk menjelaskannya.
Judul review ini memang kelewat panjang tapi
begitulah kalau sudah menonton film yang dari judulnya saja sebenarnya tidak
menarik. Masak Mama Cake, ini film
tentang orang yang jual atau bikin kue? Posternya juga biasa saja, ada tiga
orang aneh berdiri menghadap kamera. Yang cukup terkenal paling Ananda Omesh
karena kebetulan dia sering wara-wiri di televisi. Sutradaranya siapa: Anggy
Umbara. Nah, siapa pula itu. Saya tahunya Garin Nugroho, Hanung Bramantyo dan
Joko Anwar. Ah pasti film biasa saja.
Begitulah awalnya saya menonton film Mama Cake. Tanpa pretensi dan ekspektasi
yang biasa saja. Kebetulan diajak nobar sama Rivki dan @moviegoersID, gratis.
Plus ada teman setia nonton Debi. Siapa tahu ketemu Omesh, dia lumayan
charming. Untuk filmnya sendiri, saya sudah liat trailernya, gak jelek-jelek
amat, setidaknya ada efek animasi dan editing gambar yang membuat beda.
http://www.youtube.com/watch?v=uBUXSsK3pk4
http://www.youtube.com/watch?v=uBUXSsK3pk4
Di layar saya lihat Mama Cake lulus sensor.
Written and Directed by Anggy Umbara. Oh oke, ini personal touch!
,,,
2 setengah jam berlalu.
,,,
It slaps me on the face. Many times. Yeah, It does. Many
times.
,,,
Pas jalan pulang baru saya sadar, itu film 2,5
jam, tapi kok gak berasa. Dan saya kok malah bengong? Ada apa ini? Oh shit, Anggy Umbara. Shit. Who are you,
slap me on the face with that kind of mind blowing movies? (agaknya saya
mulai ketularan Willy yang ngmong Indo-English dan dimainkan dengan asik sekali
oleh Boy William).
Saya mencari penegasan kolektif dengan
bertanya pada penonton lain.
“Gimana
bi’ filmnya” saya bertanya pada Debi yang pernah kuliah di Bandung dan beragama
Kristen.
“Bagus.
Slap me on the face.’
“Me
too”.
Saya sempat kepikiran debi akan berkomentar
lain, karena di film Mama Cake kental sekali ajaran agamanya terutama soal
islam. Bahkan dalam satu scene ada penjelasan lengkap tentang ibadah salat.
Intinya, Anggy Umbara mengambil plot ajaran agama yang mendekatkan penontonnya
pada agama, dan kebetulan dalam film ini Islam.
Saya tidak tahu pasti apa yang dipikirannya
debi, tapi setidaknya dia juga sangat antusias dan memuji. Awalnya saya sempat
ragu, kalau saja dia tidak suka. Saya
lupa kalau debi adalah teman yang paling openminded yang pernah saya punya.
Tentang Mama Cake
c/kopipakegula.wordpress.com |
Ceritanya, Rakha (Omesh) diminta papanya ke
bandung untuk beli brownies Mama Cake sebagai permintaan terakhir neneknya yang
sedang sekarat di RS. Willy (Boy William) dan Rio (Arie Daginks) dua sahabat
kentalnya bersemangat menemani. Di layar ada tiga potongan gambar saling
silang, Rakha, Willy dan Rio. Lalu angka 5.35. Subuh. Dan brownies itu harus
sampai di RS pukul 1 siang. Artinya mereka hanya punya waktu kurang dari 7 jam.
10 menit pertama, Rakha, Willy dan Rio
berbincang berdebat soal film nasional favorit mereka.
“The Notes of the Boy” ujar Willy
“Ha?”
“Catatan si Boy!.”
“Oh. Kalau gue, G 30 S PKI. Karena berhasil
menipu 270 juta rakyat Indonesia. ” Rakha
,,,jeda
“AADC. Karena di dalamnya ada unsur penting,
yaitu Cinta!” Ujar Rio mantap.
Masing-masing berargumen. Dan semua komentar
yang keluar sangat cepat, kamera bergerak dinamis. Memancing rasa ingin tahu.
Dan tertawa di setiap komen yang ironis. Itu tamparan pertama yang
membuat saya shock.
“Monyet
adalah nenek moyang manusia, itu kan yang dibilang Darwin.”
“ Saya tidak sepakat, karena dalam ajaran
agama, Adam lah manusia pertama. Jadi tidak ada kaitannya dengan monyet.”
Tamparan kedua.
“Sapi! Cinta!”
Tiba-tiba saja Rio membuka pintu mobil yang
sedang melaju dan berhenti di padang rumput yang ada sapi dan kambing.
“Ini cinta. CE I EN TE A.” Teriaknya keras
pada sapi-sapi dan kambing.
Tamparan ketiga.
“Saya menyatu dengan alam, dengan api, angin
dan tanah.”
“Mau menyatu dengan air?”
“Mau.”
“ikut saya” Fajar mengajak Rio ke masjid dan
ambil wudhu!
Tamparan keempat.
Dan
seterusnya terus terjadi berulang kali.
Perjalanan ke Bandung untuk amanah membeli
Mama Cake menjadi perjalanan yang memberi pelajaran pada ketiga karakter. Rakha
dengan ujian kedewasaannya, Willy dengan kenakalannya dan Rio pada pencarian
akan makna cintanya. Dan ketiganya juga diuji sebatas mana persahabatan mereka.
Semua saling silang.
Saya seperti diajak tertawa. Menangis. Tertawa
lagi. Menangis lagi.
Editing dengan gerak kamera yang dinamis dan
animasi di sana sini membuat asik.
Sampai akhir film, saya termenung. Merenung.
Ada bagian yang sebenarnya membuat saya tertampar dengan keras.
“Binatang saja ada fungsinya di dunia ini, nah elo fugsi
lo apa?” teriak Rio pada Rakha, yang seolah juga
jadi pertanyaan keras pada penonton.
Perjalanan ketiganya bertemu dengan pengalaman-pengalaman yang tak terduga dari pemeran yang asik, seperti Lolly (Renata Kusmanto), Mawar (Dinda Kanya Dewi), Kinaryosih, Bagus NEtral, Candil Seurius, Didi Petet, dan si annoying Tommy.
Pesan
Kalau orang banyak bertanya film harus bawa
pesan moral. Tidak perlu muluk-muluk, film sudah membawa pesannya sendiri saat
diputar di layar. Gambar yang berbicara akan menempel di ingatan. Begitu juga
narasi dan dialognya. Karena penuh dengan
sindiran dan ironi, perlu pikiran yang terbuka untuk memahaminya.
Mama Cake mengalir dengan dialog yang cerdas.
Saat ketiga karakter utama itu berdebat saya seketika membayangkan Dimas-Reuben
dalam Supernova. Omongannya seolah ringan tapi sebenarnya berat. Tentang hidup,
sains dan keterkaitannya.
Siapapun yang menuliskan skrip ini saya angkat
topi. Karena begitu cerdas dan menampar setiap orang yang mendengarkannya. Dari
mulai masalah hidup, ukuran kedewasaan, mencintai alam, persahabatan, hubungan
dengan sesama manusia dan tuhan, tentang amanah, rasa santun, makna cinta,
hingga kesempatan kedua. Siapa sih penulis naskah ini, saya benar-benar angkat
topi. OH ya, seseorang bernama Anggy Umbara, yang menulisnya.
,,,
Di saat saya bengong saya mencari tahu siapa
Anggy Umbara. Banyak pertanyaan yang menempel di kepala. Aha, saya
menemukannya.
“Kita perlu sesi Q and A untuk Mama Cake
kayaknya,” Tanya saya via twitter @anggy_umbara.
“Yuks,” balasnya. Saya bersorak.
“Berapa lama mas bikin naskah untuk Mama cake?
Motivasinya apa? “
“Enam tahun. Efisiennya enam bulan dengan
ralat-ralat. ... jadi manfaat.” Jawabnya singkat.
“Kenapa warna daun yang hijau jadi biru,
maksudnya apa. Rasa sukur kah?”
“Ilmu”
“Kenapa tomat? Bukan apel. pengetahuankah?’
“Tobat”
“Mama cake itu amanah, benar”
“Bisa”
“Sosok yang dibawain fajar itu malaikat maut?
“Bisa, tapi bukan.”
Obrolan itu tidak menjawab semua pertanyaan
dan rasa shock saya.
Saya ingin menontonnya lagi. Untuk kali
pertama saya merasa masa depan film Indonesia makin cerah. Makin asik.
Pelajaran pentingnya, do not ever underestimate
Indonesian movie anymore. DO NoT. Khususnya untuk film satu ini.
Memang benar, bahwa kita tidak akan pernah
tahu bagus tidaknya sebuah buku dari cover dan testimoni di sampulnya, tapi
harus dibaca. Begitu juga film. Kita tidak akan tahu bagus tidaknya dari poster
dan siapa sutradaranya, kalau tidak ditonton.
Saya masih bengong!
Tiba-tiba ada mention masuk di akun twitter saya. dari seorang teman.
Really? wah, saya meremehkan padahal ditawari tiket gratis tadi. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar