Tiga tahun lalu, dia sukses membuat publik terhibur dengan Garuda di Dadaku. Lewat Sang Penari, dia meraih Piala Citra dan dinobatkan sebagai sutradara terbaik. Sang Penari menjadi wakil Indonesia untuk ajang Oscar atau Academy Awards 2013.
“Andai dulu saya tidak terima tawaran
menyutradarai Garuda di Dadaku, mungkin lain cerita,”
ujarnya mengawali obrolan saat bertandang ke rumahnya di
bilangan Bintaro baru-baru ini.
Di salah satu dudut dinding, terpajang
poster besar Garuda di Dadaku. Di sudut berseberangan, ada
poster film The Mirror Never Lies karya Kamila Andini,
perempuan yang baru dinikahi Ifa bulan Maret lalu.
Berada di rumah dua sutradara muda
berbakat yang kerap diganjar penghargaan dalam dan luar negeri ini
seperti tak ubahnya sedang berada di perpustakaan. Banyak buku dan
dvd film. Ada juga satu rak khusus tempat berbagai penghargaan yang
mereka peroleh dipajang, termasuk diantaranya dua Piala Citra.
“Saat ini saya lagi sibuk promo
Ambilkan Bulan yang lagi tayang, selain itu masuk masa post
produksi Rumah dan Musim Hujan, dan persiapan adaptasi novel 9
Summers 10 Autumns,” ujarnya lugas.
Jika tak menerima tawaran Garuda di
Dadaku, Rumah dan Musim Hujan semestinya menjadi film
panjang pertama buat Ifa. Namun, ternyata nasib berkata lain. Setelah
film Garuda di Dadaku, ia kemudian juga mendapat tawaran untuk
membesut Sang Penari dan Ambilkan Bulan. Untuk Sang
Penari saja, dia membutuhkan waktu hampir dua tahun, tapi
setidaknya ganjaran penghargaan membuat usaha itu tidak sia-sia.
Dikatakan pria kelahiran Yogyakarta 16
Desember 1979 ini, film Rumah dan Musim Hujan direncanakan
akan tayang di festival film Rotterdam Februari tahun depan. Untuk
Indonesia, katanya bisa jadi setelah itu. Sementara, untuk 9
Summers 10 Autums dijadwalkan syuting bulan September 2012.
Dari film pertama, kedua, ketiga dan
yang sedang ia garap, tampak bahwa Ifa sangat intens dengan tema
rumah dan keluarga. Apa yang membuatnya tertarik?
“Saya selalu tertarik dengan konten
keluarga, karena kalau kita bicarakan hal besar pastilah dimulai dari
hal kecil, dan rumah atau keluarga merupakan lingkungan masyarakat
paling kecil yang rumit, penuh konflik dan narasi-narasi yang
menarik,” paparnya.
Dalam naskah adaptasi novel 9
Summers 10 Autumns, lagi-lagi Ifa berhubungan dengan cerita soal
rumah dan keluarga. Bagaimana seorang anak yang dulu miskin dan
kemudian berhasil menggapai cita-citanya sampai ke New York. Tapi
ditegaskan Ifa, kalau filmnya nanti tidak akan seperti kisah sukses
seorang menggapai impian, tapi bagaimana konflik dalam keluarga itu
terjadi dan hubungan antar keluarga yang saling mendukung satu sama
lain.
“Saya suka dengan film-film yang
karakternya jelas, seperti Bayu yang ingin jadi pemain timnas, atau
Srintil yang ingin jadi penari, dan ini kurang lebih sama,”
ujarnya.
Meski begitu, pendiri Fourcoloursfilm
ini menegaskan kalau dirinya tidak membatasi diri dengan satu genre
film. Buatnya walaupun sederhana film mestilah menarik. Sebagai
contoh, animasi Finding Nemo. Kata Ifa, cerita film tersebut
sebenarnya sesederhana Bapak yang mencari anaknya yang hilang. Tapi
narasi dan eksekusinya sangatlah menarik. Ada juga film Jepang
berjudul Nobody Knows yang mengisahkan tentang anak-anak yang
ditinggal orangtuanya dalam satu rumah. Film-film inilah yang menjadi
inspirasi.
Basket dan Film
Dikatakan Ifa, dirinya tak pernah
terpikirkan akan terjun di dunia film. Ifa kecil justru tumbuh dalam
keluarga yang bisa dibilang hampir tak ada masalah dan tidak ada
budaya menonton film sama sekali. Bahkan, keluarganya termasuk tipe
keluarga muslim taat yang menganggap bioskop termasuk maksiat,
sehingga tidak diizinkan menonton di sana.
“Saya tidak tahu kenapa dilarang
hanya saja disebut sebagai tempat yang tidak bagus, di rumah pun tak
ada home video atau laser disc, sampai sebegitunya,”
ujarnya menambahkan.
Lepas dari SMP, Ifa seperti remaja pada
umumnya, melakukan pencarian; aktif bermain musik dan buat grup band
serta main basket. Keseriusan di bidang olahraga satu ini justru
menghantarkannya pada Kejurnas dan Pekan Olahraga Nasional. Hingga
satu titik ia cidera dan mulailah mengenal dunia teater.
“Awalnya merasa aneh lihat orang
teriak-teriak, tapi kemudian coba ikut dan gabung sebagai tim
produksi, dan merasa nyaman.”
Lulus SMA, dia tak dapat sekolah.
Dalam kebingungan itu ia disarankan untuk masuk sekolah seni, ISI
Yogyakarta. Jadilah Ifa mendaftar masuk jurusan televisi. Dari sini
Ifa mulai keranjingan kamera, mengenal teman yang satu passion
di film, dan berbagai festival film seperti Konfiden dan Jiffest lalu
keseringan nonton film pendek.
“Entah kenapa waktu nonton film itu
merasa, ‘kayaknya saya bisa bikin lebih bagus de’, dan mulai saya
mencoba buat film pendek.”
Tahun 2002 adalah tahun pertama kreatif
Ifa. Ia membuat film pendek Air Mata Surga, lalu berlanjut
dengan Mayar dan Harap Tenang, ada Ujian! Di film
pendek, Ifa seperti menemukan dunianya. Berbeda dengan music dan
olahraga, dia merasa tidak pernah sebegitu nyaman. Film Harap
Tenang, ada Ujian! membuatnya meraih Piala Citra untuk kategori
film pendek dan kemudian dapat tawaran beasiswa studi di Korea
Selatan.
Menjelang akhir masa studi di Korea,
ifa mendapat tawaran untuk menyutradarai film Garuda di Dadaku.
Ia balik ke Indonesia dan menjadikan fim panjang pertamanya itu
sukses dengan lebih dari satu juta penonton. Apa yang Ifa rasa dan
bagaimana ia melihat dunia film saat ini? Berikut obrolannya yang
santai.
Film Garuda di Dadaku terbilang
sukses, bagaimana rasanya saat itu?
Fim pertama dengan 1 ,4 juta
orang penonton, buat saya capaian yang luar biasa. Saya rasa euphoria
dan nyaman karena film yang saya buat ditonton banyak orang. Banyak
orang termasuk anak-anak nyanyiin lagu Garuda di Dadaku. Saya
jadi nyaman untuk proses selanjutnya, hingga ada tawaran Sang Penari,
saya pikir oh, this is too much dan kemudian dapat Piala
Citra. Ke depan ada tawaran film bagus lainnya yang saya tidak duga.
Jadi sutradara di Indonesia,
sulitkah?
Dulu ada kampanye bikin film itu gampang, dan menurut
saya berhasil. Sekarang banyak yang bisa bikin film. Tapi sebenarnya
tidak semudah itu. Tantangannya banyak sekali, salah satunya film
belum punya power yang kuat untuk menopang hidup. Film masih
rentan dengan jumlah penonton yang sedikit dan mesti berpikir ada
alternatif lain. Tapi saya yakin film berkualitas akan selalu tetap
ada karena saya kenal banyak orang yang melihat film sebagai passion
bukan sekedar bekerja.
Apa yang jadi motivasi tetap jadi
sutradara?
Kalau sekarang ternyata memang film yang bisa
mengeluarkan ekspresi saya, dan cuma ini yang bisa saya lakukan. Saya
sudah pernah coba apapun ekspresi seni, tapi dalam konteks itu selalu
ada yang kandas, tidak bertahan lama. Nah di dunia film semua
kekurangan saya bisa ditutup dengan kerja tim. Saya lalu merasa
akhirnya harus bertahan di film karena ini satu-satunya yang saya
paling kuasai dan mau kerjakan.
Bagaimana menjaga antara komersil
dengan idealisme?
Saya tidak mengotakkan dua hal itu. Di setiap
film, selalu ada sesuatu yang buat say a mau mengerjakannya. Jadi
tidak ada alasan, dan mudah-mudahan saya tidak akan bilang ‘ah itu
hanya cari duit’. Kalau itu gagal, ya salah saya. Ide yang dari
saya, atau ide orang lain dan saya mau kerjakan, akan saya visualkan
dengan menarik. Baik itu demi uang atau bukan.
Sudah merasa di ambang sukses atau
belum?
Belum, saya tidak tahu sukses itu seperti apa. Maksudnya
begini. Saya orang yang percaya bahwa kalau kita mau lihat ke depan,
grafik yang kita lakukan selalu naik. Dalam konteks apapun, yang saya
lakukan gafiknya haruslah naik, dan untuk itu saya tidak tahu sukses
ada di titik mana. Di industri film Indonesia sekarang misalnya,
apakah sukses itu kalau film yang kita buat ditonton lebih dari satu
juta orang atau tidak? Saya rasa tidak begitu juga. Karena kita tidak
tahu sukses ada di titik mana.
Capaian terbesar yang mau dicapai?
Banyak sekali hal-hal yang terjadi dan itu di luar kekuasan dan
kadang di luar batas harapan saya. Maksudnya lebih tinggi dari yang
saya bayangkan. Ketika saya merasa ini capaian terbesar, eh ada lagi
yang lebih besar datang. Kerap seperti itu. Misal tahun 2006 saya
membuat film pendek, Harap Tenang, Ada Ujian! Diputar di
berbagai festival dan menang sampai Piala Citra. Di saat itu saya
tidak tahu apa lagi, lalu dapat tawaran beasiswa studi di Korea. Itu
kan tidak pernah kepikiran sebelumnya. Dari Korea saya ingin buat
film yang saya tulis, Rumah dan Musim Hujan, eh dapat tawaran
Garuda di Dadaku dan lainnya. Nah, seperti itu.
Saya lalu jadi orang yang percaya
dengan energi, kalau saya beri energi yang bagus untuk sesuatu kayak
tumbuhan saya sirami dan pupuk dengan bagus maka dia akan tumbuh
dengan baik. Saya percaya semuanya organik. Bayangkan kalau
seandainya saya tolak tawaran Garuda di Dadaku, pasti lain
cerita.*
k.e.r.e.n
BalasHapus:D
Hapus