Entri Populer

Rabu, 26 September 2012

Ifa Isfansyah




Tiga tahun lalu, dia sukses membuat publik terhibur dengan Garuda di Dadaku. Lewat Sang Penari, dia meraih Piala Citra dan dinobatkan sebagai sutradara terbaik. Sang Penari menjadi wakil Indonesia untuk ajang Oscar atau Academy Awards 2013. 



“Andai dulu saya tidak terima tawaran menyutradarai Garuda di Dadaku, mungkin lain cerita,” ujarnya mengawali obrolan saat bertandang ke rumahnya di bilangan Bintaro baru-baru ini.



Di salah satu dudut dinding, terpajang poster besar Garuda di Dadaku. Di sudut berseberangan, ada poster film The Mirror Never Lies karya Kamila Andini, perempuan yang baru dinikahi Ifa bulan Maret lalu.
Berada di rumah dua sutradara muda berbakat yang kerap diganjar penghargaan dalam dan luar negeri ini seperti tak ubahnya sedang berada di perpustakaan. Banyak buku dan dvd film. Ada juga satu rak khusus tempat berbagai penghargaan yang mereka peroleh dipajang, termasuk diantaranya dua Piala Citra.

“Saat ini saya lagi sibuk promo Ambilkan Bulan yang lagi tayang, selain itu masuk masa post produksi Rumah dan Musim Hujan, dan persiapan adaptasi novel 9 Summers 10 Autumns,” ujarnya lugas.

Jika tak menerima tawaran Garuda di Dadaku, Rumah dan Musim Hujan semestinya menjadi film panjang pertama buat Ifa. Namun, ternyata nasib berkata lain. Setelah film Garuda di Dadaku, ia kemudian juga mendapat tawaran untuk membesut Sang Penari dan Ambilkan Bulan. Untuk Sang Penari saja, dia membutuhkan waktu hampir dua tahun, tapi setidaknya ganjaran penghargaan membuat usaha itu tidak sia-sia.

Dikatakan pria kelahiran Yogyakarta 16 Desember 1979 ini, film Rumah dan Musim Hujan direncanakan akan tayang di festival film Rotterdam Februari tahun depan. Untuk Indonesia, katanya bisa jadi setelah itu. Sementara, untuk 9 Summers 10 Autums dijadwalkan syuting bulan September 2012.

Dari film pertama, kedua, ketiga dan yang sedang ia garap, tampak bahwa Ifa sangat intens dengan tema rumah dan keluarga. Apa yang membuatnya tertarik?

“Saya selalu tertarik dengan konten keluarga, karena kalau kita bicarakan hal besar pastilah dimulai dari hal kecil, dan rumah atau keluarga merupakan lingkungan masyarakat paling kecil yang rumit, penuh konflik dan narasi-narasi yang menarik,” paparnya.

Dalam naskah adaptasi novel 9 Summers 10 Autumns, lagi-lagi Ifa berhubungan dengan cerita soal rumah dan keluarga. Bagaimana seorang anak yang dulu miskin dan kemudian berhasil menggapai cita-citanya sampai ke New York. Tapi ditegaskan Ifa, kalau filmnya nanti tidak akan seperti kisah sukses seorang menggapai impian, tapi bagaimana konflik dalam keluarga itu terjadi dan hubungan antar keluarga yang saling mendukung satu sama lain.
“Saya suka dengan film-film yang karakternya jelas, seperti Bayu yang ingin jadi pemain timnas, atau Srintil yang ingin jadi penari, dan ini kurang lebih sama,” ujarnya.

Meski begitu, pendiri Fourcoloursfilm ini menegaskan kalau dirinya tidak membatasi diri dengan satu genre film. Buatnya walaupun sederhana film mestilah menarik. Sebagai contoh, animasi Finding Nemo. Kata Ifa, cerita film tersebut sebenarnya sesederhana Bapak yang mencari anaknya yang hilang. Tapi narasi dan eksekusinya sangatlah menarik. Ada juga film Jepang berjudul Nobody Knows yang mengisahkan tentang anak-anak yang ditinggal orangtuanya dalam satu rumah. Film-film inilah yang menjadi inspirasi.

Basket dan Film

Dikatakan Ifa, dirinya tak pernah terpikirkan akan terjun di dunia film. Ifa kecil justru tumbuh dalam keluarga yang bisa dibilang hampir tak ada masalah dan tidak ada budaya menonton film sama sekali. Bahkan, keluarganya termasuk tipe keluarga muslim taat yang menganggap bioskop termasuk maksiat, sehingga tidak diizinkan menonton di sana.

“Saya tidak tahu kenapa dilarang hanya saja disebut sebagai tempat yang tidak bagus, di rumah pun tak ada home video atau laser disc, sampai sebegitunya,” ujarnya menambahkan.

Lepas dari SMP, Ifa seperti remaja pada umumnya, melakukan pencarian; aktif bermain musik dan buat grup band serta main basket. Keseriusan di bidang olahraga satu ini justru menghantarkannya pada Kejurnas dan Pekan Olahraga Nasional. Hingga satu titik ia cidera dan mulailah mengenal dunia teater.

“Awalnya merasa aneh lihat orang teriak-teriak, tapi kemudian coba ikut dan gabung sebagai tim produksi, dan merasa nyaman.”

Lulus SMA, dia tak dapat sekolah. Dalam kebingungan itu ia disarankan untuk masuk sekolah seni, ISI Yogyakarta. Jadilah Ifa mendaftar masuk jurusan televisi. Dari sini Ifa mulai keranjingan kamera, mengenal teman yang satu passion di film, dan berbagai festival film seperti Konfiden dan Jiffest lalu keseringan nonton film pendek.

“Entah kenapa waktu nonton film itu merasa, ‘kayaknya saya bisa bikin lebih bagus de’, dan mulai saya mencoba buat film pendek.”

Tahun 2002 adalah tahun pertama kreatif Ifa. Ia membuat film pendek Air Mata Surga, lalu berlanjut dengan Mayar dan Harap Tenang, ada Ujian! Di film pendek, Ifa seperti menemukan dunianya. Berbeda dengan music dan olahraga, dia merasa tidak pernah sebegitu nyaman. Film Harap Tenang, ada Ujian! membuatnya meraih Piala Citra untuk kategori film pendek dan kemudian dapat tawaran beasiswa studi di Korea Selatan.

Menjelang akhir masa studi di Korea, ifa mendapat tawaran untuk menyutradarai film Garuda di Dadaku. Ia balik ke Indonesia dan menjadikan fim panjang pertamanya itu sukses dengan lebih dari satu juta penonton. Apa yang Ifa rasa dan bagaimana ia melihat dunia film saat ini? Berikut obrolannya yang santai.

Film Garuda di Dadaku terbilang sukses, bagaimana rasanya saat itu? 
Fim pertama dengan 1 ,4 juta orang penonton, buat saya capaian yang luar biasa. Saya rasa euphoria dan nyaman karena film yang saya buat ditonton banyak orang. Banyak orang termasuk anak-anak nyanyiin lagu Garuda di Dadaku. Saya jadi nyaman untuk proses selanjutnya, hingga ada tawaran Sang Penari, saya pikir oh, this is too much dan kemudian dapat Piala Citra. Ke depan ada tawaran film bagus lainnya yang saya tidak duga.

Jadi sutradara di Indonesia, sulitkah?
Dulu ada kampanye bikin film itu gampang, dan menurut saya berhasil. Sekarang banyak yang bisa bikin film. Tapi sebenarnya tidak semudah itu. Tantangannya banyak sekali, salah satunya film belum punya power yang kuat untuk menopang hidup. Film masih rentan dengan jumlah penonton yang sedikit dan mesti berpikir ada alternatif lain. Tapi saya yakin film berkualitas akan selalu tetap ada karena saya kenal banyak orang yang melihat film sebagai passion bukan sekedar bekerja.

Apa yang jadi motivasi tetap jadi sutradara? 
Kalau sekarang ternyata memang film yang bisa mengeluarkan ekspresi saya, dan cuma ini yang bisa saya lakukan. Saya sudah pernah coba apapun ekspresi seni, tapi dalam konteks itu selalu ada yang kandas, tidak bertahan lama. Nah di dunia film semua kekurangan saya bisa ditutup dengan kerja tim. Saya lalu merasa akhirnya harus bertahan di film karena ini satu-satunya yang saya paling kuasai dan mau kerjakan.

Bagaimana menjaga antara komersil dengan idealisme? 
Saya tidak mengotakkan dua hal itu. Di setiap film, selalu ada sesuatu yang buat say a mau mengerjakannya. Jadi tidak ada alasan, dan mudah-mudahan saya tidak akan bilang ‘ah itu hanya cari duit’. Kalau itu gagal, ya salah saya. Ide yang dari saya, atau ide orang lain dan saya mau kerjakan, akan saya visualkan dengan menarik. Baik itu demi uang atau bukan.

Sudah merasa di ambang sukses atau belum? 
Belum, saya tidak tahu sukses itu seperti apa. Maksudnya begini. Saya orang yang percaya bahwa kalau kita mau lihat ke depan, grafik yang kita lakukan selalu naik. Dalam konteks apapun, yang saya lakukan gafiknya haruslah naik, dan untuk itu saya tidak tahu sukses ada di titik mana. Di industri film Indonesia sekarang misalnya, apakah sukses itu kalau film yang kita buat ditonton lebih dari satu juta orang atau tidak? Saya rasa tidak begitu juga. Karena kita tidak tahu sukses ada di titik mana.

Capaian terbesar yang mau dicapai? 
Banyak sekali hal-hal yang terjadi dan itu di luar kekuasan dan kadang di luar batas harapan saya. Maksudnya lebih tinggi dari yang saya bayangkan. Ketika saya merasa ini capaian terbesar, eh ada lagi yang lebih besar datang. Kerap seperti itu. Misal tahun 2006 saya membuat film pendek, Harap Tenang, Ada Ujian! Diputar di berbagai festival dan menang sampai Piala Citra. Di saat itu saya tidak tahu apa lagi, lalu dapat tawaran beasiswa studi di Korea. Itu kan tidak pernah kepikiran sebelumnya. Dari Korea saya ingin buat film yang saya tulis, Rumah dan Musim Hujan, eh dapat tawaran Garuda di Dadaku dan lainnya. Nah, seperti itu.

Saya lalu jadi orang yang percaya dengan energi, kalau saya beri energi yang bagus untuk sesuatu kayak tumbuhan saya sirami dan pupuk dengan bagus maka dia akan tumbuh dengan baik. Saya percaya semuanya organik. Bayangkan kalau seandainya saya tolak tawaran Garuda di Dadaku, pasti lain cerita.*

2 komentar: