Entri Populer

Minggu, 15 Juli 2012

The Flowers of War



Film kolaborasi sutradara Zhang Yimou dan aktor Christian Bale ini berhasil membuat penonton merasakan getir yang dialami para korban perang dan wanita-wanita yang diperkosa di masa tragedi Nanjing 1937. Epic, heroic and tragic. 















Sutradara: Zhang Yimou
Pemain: Christian Bale, Ni Ni, Zhang Xinyi
Produksi: Zhang Weiping/ New Pictures Film
Penulis naskah: Liu Heng (skenario) Geling Yan (novel 13 Flowers of Nanjing)
Durasi: 146 menit

Film dibuka dengan narasi peristiwa penyerangan tentara Jepang di Nanjing, Cina tahun 1937. Narator perempuan mengisahkan dalam peristiwa berdarah itu ada sekitar 200 ribu orang yang dibantai. Asap tebal karena bom dan granat serta rumah-rumah hancur menjadi latar ketika sekelompok siswi berlarian menyelamatkan diri dari rongrongan peluru. Dua diantaranya terjebak dan dibunuh. 

Dalam kekacauan itu, mereka bertemu John Miller (Christian Bale), seorang pengurus pemakaman asal Amerika Serikat yang sedang menuju Katedral Winchester. Dia ingin menguburkan Bapa pendeta Ingleman yang ternyata merupakan pimpinan gereja tempat sekelompok siswi biara tadi tinggal. 
 
Gereja besar itu menjadi satu-satunya tempat aman yang belum dijamah oleh tentara Jepang. Di sana turut tinggal George Chen, putra adopsi Pendeta Ingleman. John tak perlu lagi mengurus pemakaman, karena jenazah yang akan diurusnya sudah hilang terkena bom. 

Kecewa tak mendapat upah dan berada di tengah situasi yang kacau membuat John meracau. Hingga kemudian hadirlah para wanita Pekerja Seks Komersil (PSK) yang mendesak masuk gereja. Mereka juga ingin tempat yang aman sebelum keluar dari neraka Nanjing. Yu Mo (Ni Ni), yang menjadi ketua diantara mereka mendesak John untuk mengatur strategi supaya mereka semua bisa keluar. 

Sementara di luaran desing peluru dan bom masih terdengar, persinggungan antara John, George, siswi biara dan para PSK juga tak terhindarkan. Sampai satu insiden menyadarkan mereka bahwa untuk selamat mereka harus bersatu. Dan untuk itu mesti ada yang berkorban. 

Tragedi Getir 

Dari sepuluh menit pertama, film ini sudah berhasil membuat penonton menahan napas karena situasi perang yang kelam. Asap tebal, dan orang-orang panik menyelamatkan diri. Di sana-sini ada peluru nyasar dan pembantaian tanpa ampun. Yang wanita dirobek paksa bajunya, lalu diperkosa beramai-ramai. 

Film ini memang bukan film yang menghibur secara keseluruhan meski di beberapa scene ada terselip kisah humor yang menggelitik. Seperti saat John kesulitan beradaptasi dengan orang Cina, atau saat para PSK dengan gagah berani memanjat tembok tinggi gereja demi diijinkan masuk. Adegan-adegan yang sebenarnya menghibur ini menjadi salah satu pelipur lara diantara suram dan tertekannya masa itu. 

Sutradara Zhang Yimou tampak berusaha keras mampu menyuguhkan gambar-gambar sesuai dengan tragedi berdarah yang terjadi di Nanjing. Dengan lanskap reruntuhan yang seolah nyata, serta kebengisan para tentara Jepang tanpa ampun.
Rasanya film ini mengalir tanpa cela sampai di penghujung cerita. Penonton seolah dibawa larut dalam rasa cemas, tertekan dan tak terasa masih menahan napas tak percaya. Hingga di satu titik menyadari bahwa tragedi tetaplah sebuah peristiwa yang tak mengenakkan dan seharusnya menjadi pelajaran untuk tak terjadi lagi. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar