Film kolaborasi sutradara Zhang Yimou dan aktor Christian Bale ini berhasil membuat penonton merasakan getir yang dialami para korban perang dan wanita-wanita yang diperkosa di masa tragedi Nanjing 1937. Epic, heroic and tragic.
Sutradara: Zhang Yimou
Pemain: Christian Bale, Ni Ni,
Zhang Xinyi
Produksi: Zhang Weiping/ New
Pictures Film
Penulis naskah: Liu Heng
(skenario) Geling Yan (novel 13 Flowers of Nanjing)
Durasi: 146 menit
Film dibuka dengan narasi peristiwa penyerangan tentara
Jepang di Nanjing, Cina tahun 1937. Narator perempuan mengisahkan dalam peristiwa berdarah itu ada sekitar 200 ribu orang yang dibantai. Asap tebal
karena bom dan granat serta rumah-rumah hancur menjadi latar ketika sekelompok
siswi berlarian menyelamatkan diri dari rongrongan peluru. Dua diantaranya
terjebak dan dibunuh.
Dalam kekacauan itu, mereka bertemu John Miller (Christian
Bale), seorang pengurus pemakaman asal Amerika Serikat yang sedang menuju
Katedral Winchester. Dia ingin menguburkan Bapa pendeta Ingleman yang ternyata merupakan
pimpinan gereja tempat sekelompok siswi biara tadi tinggal.
Gereja besar itu menjadi satu-satunya tempat aman yang belum
dijamah oleh tentara Jepang. Di sana turut tinggal George Chen, putra adopsi
Pendeta Ingleman. John tak perlu lagi mengurus pemakaman, karena jenazah yang
akan diurusnya sudah hilang terkena bom.
Kecewa tak mendapat upah dan berada di tengah situasi yang
kacau membuat John meracau. Hingga kemudian hadirlah para wanita Pekerja Seks Komersil
(PSK) yang mendesak masuk gereja. Mereka juga ingin tempat yang aman sebelum
keluar dari neraka Nanjing. Yu Mo (Ni Ni), yang menjadi ketua diantara mereka
mendesak John untuk mengatur strategi supaya mereka semua bisa keluar.
Sementara di luaran desing peluru dan bom masih terdengar,
persinggungan antara John, George, siswi biara dan para PSK juga tak
terhindarkan. Sampai satu insiden menyadarkan mereka bahwa untuk selamat mereka
harus bersatu. Dan untuk itu mesti ada yang berkorban.
Tragedi Getir
Dari sepuluh menit pertama, film ini sudah berhasil membuat
penonton menahan napas karena situasi perang yang kelam. Asap tebal, dan
orang-orang panik menyelamatkan diri. Di sana-sini ada peluru nyasar dan
pembantaian tanpa ampun. Yang wanita dirobek paksa bajunya, lalu diperkosa
beramai-ramai.
Film ini memang bukan film yang menghibur secara keseluruhan
meski di beberapa scene ada terselip kisah humor yang menggelitik. Seperti saat
John kesulitan beradaptasi dengan orang Cina, atau saat para PSK dengan gagah
berani memanjat tembok tinggi gereja demi diijinkan masuk. Adegan-adegan yang sebenarnya
menghibur ini menjadi salah satu pelipur lara diantara suram dan tertekannya
masa itu.
Sutradara Zhang Yimou tampak berusaha keras mampu menyuguhkan
gambar-gambar sesuai dengan tragedi berdarah yang terjadi di Nanjing. Dengan
lanskap reruntuhan yang seolah nyata, serta kebengisan para tentara Jepang
tanpa ampun.
Rasanya film ini mengalir tanpa cela sampai di penghujung
cerita. Penonton seolah dibawa larut dalam rasa cemas, tertekan dan tak terasa
masih menahan napas tak percaya. Hingga di satu titik menyadari bahwa tragedi
tetaplah sebuah peristiwa yang tak mengenakkan dan seharusnya menjadi pelajaran
untuk tak terjadi lagi. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar