Entri Populer

Rabu, 22 Agustus 2012

Perahu Kertas



 Berlayar Tersendat Lalu Hanyut 


Sedari awal sebagai penonton saya sadar, ini adalah film. Medium yang berbeda dari novel Perahu Kertas yang sudah kadung menjadi salah satu bacaan favorit saya. Ketika di novel, imajinasi saya tumbuh liar menemukan sosok Kugy dan Keenan yang asik dan menyenangkan. Di film, imajinasi itu mesti berdamai dengan pilihan sutradara Hanung Bramantyo yang menghadapkan saya pada Maudy Ayunda dan Adipati Dolken. Dan saya harus menerimanya. 







Maka duduklah saya menonton. Melihat Kugy yang berlagak sebagai agen Neptunus dan menulis di sebuah perahu kertas berwarna merah, lalu menghanyutkannya di air yang keruh. Mungkin itu selokan, kan sama-sama air akan tetap hanyut (seperti obrolan Kugy dan Karel). Yang pasti perahu kertas itu sekarang berbentuk dan berwarna. Hanyut di atas air yang mengalir. Warnanya merah. 

Kugy juga hadir dengan keeksentrikannya. Memakai jam kura-kura ninja, slenge’an, cuek, dan apa adanya. Di bagian awal saya membayangkan dia memakai piyama yang lusuh saat menuju stasiun, tapi bukan. Mengira dia akan berteriak kencang menyebut nama Keenan atau merebut mic bagian informasi, ternyata bukan. 





Saya tersenyum. Setidaknya Kugy yang hadir lewat sosok Maudy sudah hadir dengan nyata. Senyumnya, tawanya, sorot matanya semua membuat saya tak henti tertawa. Saya bahagia.  Sayangnya Keenan yang dihadirkan Adipati membuat saya sedikit kecewa. Sorot matanya sedikit sendu. Dalam bayangan saya, Kugy dan Keenan adalah dua orang yang punya sorot mata bahagia, menerima hidup apa adanya, bahagia seadanya. Ah, saya mulai membandingkan novel dan film lagi. 

Maka separoh perjalanan film saya merasa tersendat. Hanya Eko dan Noni yang menghibur dan mereka benar-benar natural adanya. Saya jadi selalu berharap Eko selalu muncul di awal-awal ini. Apalagi saat dia mengomentari Wanda dengan logat asingnya yang aneh itu. Senyum saya makin lebar begitu di satu titik muncul sosok Remy. Suasana kembali hidup. 

Remy yang dibawakan Reza Rahadian ini entah kenapa melebihi ekspektasi. Dia mengalir lebih dari sekedar natural. Kugy yang tadinya sudah cuek makin seolah hidup karakternya saat beradegan dengan Remy.
Lihatlah adegan ketika mereka berdua makan gulai itik. Kugy yang berceloteh senang akan hobinya menulis dongeng mengangkat kedua tangan ke atas seperti orang yang bebas tak peduli sekitar. Ekpresi Remy yang kagok dan malu tapi ikut cuek menjadi asik dilihat. Dari sini Perahu Kertas mulai mengalir dan menghanyutkan. 

Saya mendapatkan kembali feel dan imajinasi liar Perahu Kertas. Tak peduli lagi mana novel, mana film. Saya nikmati saja ketika perasayaan diaduk-aduk bercampur haru, sedih, senang, dan saya benar-benar menikmatinya sampai ada tulisan penutup; Akhir dari Bagian Pertama. 

Oh, bersambung ya. Adegan itu berhenti ketika sampai di satu titik yang pas. Saya membayangkan kelanjutannya. Dan tak sabar menunggu. Menunggu untuk dihanyutkan lagi. Saya yakin bagian dua lebih dramatis. 

Sebuah Adaptasi
Terlepas dari mediumnya sebagai novel adaptasi, ada beberapa bagian dalam film yang terasa pas, ada pula yang mengganjal. Yang pas itu buat saya Kugy, Remy, Eko dan dan Pak Wayan. Kehadiran peran-peran ini dalam pengadeganan membuat Perahu Kertas asik untuk dinikmati. Membuat hanyut dalam penceritaan yang sesuai dengan sebutannya, ‘sebuah adaptasi’.

Di film, ada pengurangan, ada pula penambahan. Disinilah sebenarnya Hanung dan Dee yang menulis skenario bertaruh. Apakah penonton yang sebagian besar pembaca novel mau menerima penambahan atau pengurangan itu?

Pengurangan adegan mungkin hanya terjadi sedikit. Tidak begitu mempengaruhi jalan cerita (setidaknya Hanung tak berani memotongnya hingga harus dibagi menjadi dua bagian film). Untuk penambahan, nah ini yang patut menjadi catatan.
Ada beberapa bagian yang buat saya sedikit menganggu. Seperti karikatur Gus Dur dan tulisan Begitu aja Kok Repot dalam koleksi lukisan Keenan. Sebagai seorang pelukis yang baru dan objek lukisan bebas, dan natural, dia tak mencerminkan ada ketertarikan ke politik. Lalu, ada selipan penghargaan piala Citra yang menggantung dan celotehan Remy, ‘kalau tidak menggantung mau saya buang” sebuah sindiran yang simbolik. 

Beberapa pengadeganan juga punya konteks yang mungkin hanya pembaca novel yang tahu. Seperti obrolan Keenan yang tiba-tiba di kereta api yang mogok soal cerpen Kugy. Atau lukisan perempuan Pak Wayan yang hanya disibak sedikit pas di akhir bagian cerita. Dan lain yang kalau jeli pasti menemukannya.
Soal alur cerita yang melambat di awal dan konflik yang belum begitu kentara sempat dijawab lugas oleh Hanung dalam twitternya. Bahwa itu tak lain karena terjadinya pemisahan PK jadi dua bagian. Tak cukup puas dengan menjelaskan di twitter, ia menuliskan di blog Dapur Film berjudul Perahu Kertas Sebuah Monumen bagi Perasaan-perasaan Sendiri. 

Di sana, Hanung memaparkan betapa frustasinya ia akan proses adaptasi novel kali ini untuk diangkat ke layar lebar. Bahwa akan ada penghakiman penonton terutama pembaca setia PK. Tentang frustasinya menemukan pemeran Kugy, Keenan, Remy dan Luhde. Frustasinya akan pengadeganan yang tak ingin dibuang lalu menjadi 4 jam durasi dan tak bisa dipotong lagi. 

Bahkan, Hanung yang sudah sukses menggarap adaptasi Jomblo, Ayat-Ayat Cinta dan Perempuan Berkalung Sorban, di Perahu Kertas seperti seolah terhanyut dan tak bisa menyederhanakan kisah ini menjadi satu bagian saja. 

Kembali lagi pada keputusan yang sudah diambil, Bagian pertama Perahu Kertas ini pada akhirnya tidaklah begitu buruk. Hanya saja agak tersendat sedikit di awal. Di bagian cinta Kugy-Keenan yang tak terucap. Selebihnya ia asik untuk dinikmati, mengalir lancar dan menghanyutkan. Kematangan cerita, penokohan, adegan, sinematografi, musik pengiring sudah berupaya untuk saling kompak satu sama lain. 

Setidaknya menonton Perahu Kertas ada bagian yang membuat kita sebagai penonton larut di dalamnya. Bersimpati pada Kugy dan Keenan, tertawa bersama Eko dan Noni, atau dinamis bersama Remy dan Luhde. Saking asiknya menjelang akhir cerita, kita tak akan sabar menunggu bagian keduanya. * 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar