Berlayar
Tersendat Lalu Hanyut
Sedari awal sebagai penonton saya sadar, ini
adalah film. Medium yang berbeda dari novel Perahu
Kertas yang sudah kadung menjadi salah satu bacaan favorit saya. Ketika di
novel, imajinasi saya tumbuh liar menemukan sosok Kugy dan Keenan yang asik dan
menyenangkan. Di film, imajinasi itu mesti berdamai dengan pilihan sutradara
Hanung Bramantyo yang menghadapkan saya pada Maudy Ayunda dan Adipati Dolken.
Dan saya harus menerimanya.
Maka duduklah saya menonton. Melihat Kugy yang
berlagak sebagai agen Neptunus dan menulis di sebuah perahu kertas berwarna
merah, lalu menghanyutkannya di air yang keruh. Mungkin itu selokan, kan
sama-sama air akan tetap hanyut (seperti obrolan Kugy dan Karel). Yang pasti perahu
kertas itu sekarang berbentuk dan berwarna. Hanyut di atas air yang mengalir.
Warnanya merah.
Kugy juga hadir dengan keeksentrikannya.
Memakai jam kura-kura ninja, slenge’an, cuek, dan apa adanya. Di bagian awal
saya membayangkan dia memakai piyama yang lusuh saat menuju stasiun, tapi
bukan. Mengira dia akan berteriak kencang menyebut nama Keenan atau merebut mic
bagian informasi, ternyata bukan.
Saya tersenyum. Setidaknya Kugy yang hadir
lewat sosok Maudy sudah hadir dengan nyata. Senyumnya, tawanya, sorot matanya
semua membuat saya tak henti tertawa. Saya bahagia. Sayangnya Keenan yang dihadirkan Adipati
membuat saya sedikit kecewa. Sorot matanya sedikit sendu. Dalam bayangan saya,
Kugy dan Keenan adalah dua orang yang punya sorot mata bahagia, menerima hidup
apa adanya, bahagia seadanya. Ah, saya mulai membandingkan novel dan film lagi.
Maka separoh perjalanan film saya merasa
tersendat. Hanya Eko dan Noni yang menghibur dan mereka benar-benar natural
adanya. Saya jadi selalu berharap Eko selalu muncul di awal-awal ini. Apalagi
saat dia mengomentari Wanda dengan logat asingnya yang aneh itu. Senyum saya
makin lebar begitu di satu titik muncul sosok Remy. Suasana kembali hidup.
Remy yang dibawakan Reza Rahadian ini entah
kenapa melebihi ekspektasi. Dia mengalir lebih dari sekedar natural. Kugy yang
tadinya sudah cuek makin seolah hidup karakternya saat beradegan dengan Remy.
Lihatlah adegan ketika mereka berdua makan
gulai itik. Kugy yang berceloteh senang akan hobinya menulis dongeng mengangkat
kedua tangan ke atas seperti orang yang bebas tak peduli sekitar. Ekpresi Remy
yang kagok dan malu tapi ikut cuek menjadi asik dilihat. Dari sini Perahu
Kertas mulai mengalir dan menghanyutkan.
Saya mendapatkan kembali feel dan imajinasi liar Perahu Kertas. Tak peduli lagi mana novel,
mana film. Saya nikmati saja ketika perasayaan diaduk-aduk bercampur haru,
sedih, senang, dan saya benar-benar menikmatinya sampai ada tulisan penutup;
Akhir dari Bagian Pertama.
Oh, bersambung ya. Adegan itu berhenti ketika
sampai di satu titik yang pas. Saya membayangkan kelanjutannya. Dan tak sabar
menunggu. Menunggu untuk dihanyutkan lagi. Saya yakin bagian dua lebih
dramatis.
Sebuah Adaptasi
Terlepas dari mediumnya sebagai novel
adaptasi, ada beberapa bagian dalam film yang terasa pas, ada pula yang
mengganjal. Yang pas itu buat saya Kugy, Remy, Eko dan dan Pak Wayan. Kehadiran
peran-peran ini dalam pengadeganan membuat Perahu Kertas asik untuk dinikmati.
Membuat hanyut dalam penceritaan yang sesuai dengan sebutannya, ‘sebuah
adaptasi’.
Di film, ada pengurangan, ada pula penambahan.
Disinilah sebenarnya Hanung dan Dee yang menulis skenario bertaruh. Apakah
penonton yang sebagian besar pembaca novel mau menerima penambahan atau
pengurangan itu?
Pengurangan adegan mungkin hanya terjadi
sedikit. Tidak begitu mempengaruhi jalan cerita (setidaknya Hanung tak berani
memotongnya hingga harus dibagi menjadi dua bagian film). Untuk penambahan, nah
ini yang patut menjadi catatan.
Ada beberapa bagian yang buat saya sedikit
menganggu. Seperti karikatur Gus Dur dan tulisan Begitu aja Kok Repot dalam koleksi lukisan Keenan. Sebagai seorang
pelukis yang baru dan objek lukisan bebas, dan natural, dia tak mencerminkan
ada ketertarikan ke politik. Lalu, ada selipan penghargaan piala Citra yang
menggantung dan celotehan Remy, ‘kalau tidak menggantung mau saya buang” sebuah
sindiran yang simbolik.
Beberapa pengadeganan juga punya konteks yang
mungkin hanya pembaca novel yang tahu. Seperti obrolan Keenan yang tiba-tiba di
kereta api yang mogok soal cerpen Kugy. Atau lukisan perempuan Pak Wayan yang
hanya disibak sedikit pas di akhir bagian cerita. Dan lain yang kalau jeli
pasti menemukannya.
Soal alur cerita yang melambat di awal dan
konflik yang belum begitu kentara sempat dijawab lugas oleh Hanung dalam
twitternya. Bahwa itu tak lain karena terjadinya pemisahan PK jadi dua bagian.
Tak cukup puas dengan menjelaskan di twitter, ia menuliskan di blog Dapur Film
berjudul Perahu Kertas Sebuah Monumen
bagi Perasaan-perasaan Sendiri.
Di sana, Hanung memaparkan betapa frustasinya ia
akan proses adaptasi novel kali ini untuk diangkat ke layar lebar. Bahwa akan
ada penghakiman penonton terutama pembaca setia PK. Tentang frustasinya
menemukan pemeran Kugy, Keenan, Remy dan Luhde. Frustasinya akan pengadeganan
yang tak ingin dibuang lalu menjadi 4 jam durasi dan tak bisa dipotong lagi.
Bahkan, Hanung yang sudah sukses menggarap
adaptasi Jomblo, Ayat-Ayat Cinta dan
Perempuan Berkalung Sorban, di Perahu
Kertas seperti seolah terhanyut dan tak bisa menyederhanakan kisah ini
menjadi satu bagian saja.
Kembali lagi pada keputusan yang sudah
diambil, Bagian pertama Perahu Kertas ini pada akhirnya tidaklah begitu buruk.
Hanya saja agak tersendat sedikit di awal. Di bagian cinta Kugy-Keenan yang tak terucap. Selebihnya ia asik untuk dinikmati,
mengalir lancar dan menghanyutkan. Kematangan cerita, penokohan, adegan,
sinematografi, musik pengiring sudah berupaya untuk saling kompak satu sama
lain.
Setidaknya menonton Perahu Kertas ada bagian
yang membuat kita sebagai penonton larut di dalamnya. Bersimpati pada Kugy dan
Keenan, tertawa bersama Eko dan Noni, atau dinamis bersama Remy dan Luhde.
Saking asiknya menjelang akhir cerita, kita tak akan sabar menunggu bagian
keduanya. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar