Jilbab, Waria dan Jakarta
Sebuah
fim yang indah dengan karakter dan dialog yang mengalir alami. Ketika seorang
anak perempuan berjilbab melakukan perjalanan ke Jakarta menemui ayah yang
sudah lama meninggalkannya yang ternyata seorang waria.
Duduk dalam sebuah kereta yang sedang
berjalan, seorang perempuan berjilbab tampak resah. Dia memandangi secarik
kertas alamat yang nantinya beberapa menit kemudian kita ketahui, dia sedang mencari
seseorang.
Namanya Cahaya (Raihaanun). Tepat di alamat
yang tertera, dia mendapati para banci Taman Lawang (tempat kumpul waria
pekerja seks komersil di Jakarta) sedang berjejer di pinggir jalan. Dia
lalu bertanya, “Ada yang tahu Syaiful?”.
Hampir semua menggeleng. Tapi ada satu yang kemudian berseru kalau yang
dimaksud itu ‘Ipuy’ bukan Syaiful, dan menunjuk ke salah satu diantara mereka.
Dalam jarak dua meter Cahaya memandangi lekat
ayahnya (Donny Damara) yang kini bersosok perempuan dengan rambut panjang
(wig), muka penuh polesan bedak, baju merah ketat menyala dan sepatu berhak
tinggi. Keduanya bertatap lama, seolah berdiam untuk satu hal: menerima atau
menolak kenyataan?
Demikianlah sepuluh menit pertama film Lovely Man menggiring penontonnya. Setelah
hampir belasan tahun hidup tanpa Ayah, Cahaya kemudian memutuskan untuk
menemukannya sendiri. Dari adegan awal itu, cerita film ini mengalir dengan
baik. Kita, penonton seperti diajak untuk menebak-nebak, apakah hubungan
Ayah-Anak ini akan baik-baik saja. Apakah sang Ayah yang dulunya kuli sekarang
waria mau menerima anaknya yang taat (karena jilbab adalah penanda muslim yang
patuh pada perintah Tuhan).
Sementara itu di sisi Cahaya, kita diajak
bersimpatik. Apakah dia akan malu mendapati ayah yang selama ini menafkahinya
dari ‘jual diri’, lalu dengan bersedih hati pulang kembali ke kampung halaman,
atau ia menerima kenyataan dan berdamai dengannya.
Di bagian inilah kemudian Teddy Soeriaatmadja
sebagai penulis dan sutradara bermain-main dengan pendalaman menyeluruh lewat
karakter, dialog dan mengemas Jakarta sebelum matahari terbit keesokan harinya.
Dia seolah mengajak penonton untuk melihat paradoks dan sisi lain jakarta yang
kelam lewat lorong gang, warteg, dan kehidupan malam yang tak seindah Jakarta
di kartu pos.
Dengan penceritaan yang demikian membuat film
ini menjadi berbeda. Dia tak menjual karakter yang bisa dibilang hero, tapi justru anti-hero. Sang ayah di sini bukanlah sosok ideal yang mengayomi
dan bertanggungjawab terhadap keluarga. Dia hanyalah sosok ayah yang jauh dari
ideal, bahkan justru seorang waria.
Sementara di sosok Anak, juga bukan anak yang
sempurna. Sekilas tampak sederhana dengan keluguannya dan kebesaran hati
menerima kenyataan. Tapi, sebenarnya dia juga lari dari apa yang sedang ia
hadapi, kenyataan yang tidak seharusnya terjadi buat lulusan pesantren dan
muslimah taat karena kebablasan saat menjalin hubungan dengan lawan jenis.
Kekuatan
Karakter dan Subplot
Film ini sebenarnya sederhana dengan
penceritaan lewat dua sosok Ayah dan Anak. Namun, ada subplot yang kemudian
menguatkan. Seperti hadirnya ‘kekasih’ Syaiful yang ternyata juga seorang
lelaki, orang-orang yang menagih hutang dengan beringas, dan bagaimana Syaiful
bertahan hidup di Jakarta yang keras. Lalu Cahaya, dia tidak sekedar mencari
sosok Ayah yang hilang, tapi ada terselip hubungannya dengan kekasih yang ia
hindari, hubungannya yang memburuk dengan sang ibu, dan keputusannya
meninggalkan bangku sekolah.
Bagian-bagian kecil inilah yang kemudian
membuat film mengalir dengan sendirinya. Ditambah lagi dengan dialog-dialog
cerdas yang tepat dan cocok pada karakter. Seperti saat Syaiful dengan lugas
mengungkapkan kalau dia meski seorang ayah tetaplah juga seorang pria yang
bebas menentukan jalan hidupnya sendiri. Soal tanggungjawab, dia sudah rutin
mengirimkan uang untuk nafkah hidup.
Beberapa dialog seperti menohok, menyentuh dan
mengandung ironi yang membuat penonton akan tersenyum tapi juga sekaligus
bersedih hati.
Ketika Cahaya ingin menerima atau diterima
oleh Ayahnya, dia lalu membuka jilbab. Sementara Syaiful, untuk berdamai dengan
keadaan, dia mau menemani Cahaya meski hanya sampai matahari terbit. Keduanya
adalah pilihan-pilihan yang sulit jika dibawa ke kehidupan nyata, namun benar
adanya.
Sekilas film ini mengingatkan pada ELIana, eliANA karya Riri Riza.
Kemiripannya terlihat dari bagaimana penceritaan mengalir lewat hubungan
emosional dua orang di kota besar Jakarta saat malam hari. Di ELIana, eliANA penonton diajak melihat
Jakarta lewat sosok Eliana dan Bunda. Sementara di Lovely Man, itu terjadi lewat sosok Cahaya dan Syaiful.
Kedua film ini pun menggunakan subplot yang
saling menguatkan, yang kemudian membuat film mengalir dengan indah dan
berbeda. Tapi, meskipun ada kemiripan, masing-masing tentu jelas berbeda dalam
penggarapannya.
Rentan
Kontroversi
Dilihat secara menyeluruh, ada yang menarik
sebenarnya dari penayangan Lovely Man
di bioskop, terutama dengan kondisi dan situasi yang rentan dengan pencekalan
dan pelarangan. Film ini bisa jadi tayang pada Mei 2012, tapi sebenarnya untuk
pertama kali, film ini sudah lebih dulu tayang saat pembukaan Festival Film Q,
September 2011 lalu. Media dan kritikus memberikan puja-puji, namun saat itu
belum ada tanda-tanda film ini akan tayang di bioskop. Di sisi lain, Front
Pembela Islam memboikot Festival Film Q.
Pada kesempatan itu, Teddy sempat mengungkapkan
kalau dirinya belum yakin kalau film ketujuhnya selain Banyu Biru, Ruang dan Ruma
Maida itu akan lulus sensor dan tayang di bioskop. Karena itu dia memilih
mengirimkannya ke berbagai festival di luar negeri, seperti diantaranya Busan,
Bangkok, AS dan Hongkong. Di Asian Film Awards, Donny Damara kemudian
terpilih sebagai pemenang kategori aktor terbaik mengalahkan Andy Lau.
Mengejutkan? Tidak juga, karena dalam film ini Donny benar-benar total dan
membuat sosok waria menjadi sangat hidup dan berkesan dekat.
Entah karena pencapaian ini atau ada sebab
lain, maka film ini akhirnya sampai juga di bioskop tanah air dan itu berarti
lulus sensor. Penggambaran waria dan seorang perempuan yang membuka jilbabnya
demi bisa diterima oleh keadaan sangatlah berpotensi menjadi kontroversi.
Begitu juga beberapa adegan kekerasan yang mungkin akan kena gunting sensor.
Maka, patutlah kemudian dirayakan akan
hadirnya film Lovely Man dalam kancah
perfilman Indonesia. Film ini menjadi tampak indah karena dia berbeda; bukan
film dengan skenario tiga babak yang mudah ditebak, bukan film horor yang cheesy, bukan pula film drama romantis
yang unyu.
Sudah lama rasanya publik Indonesia kehilangan
film-film berkarakter kuat, dialog matang dan gambar yang mengalir indah
sehingga penonton tak sadar sudah sampai di penghujung film seperti Lovely Man. Bagaimana kemudian mereka lalu
merasa tersentuh dan menyadari dirinya telah larut dalam waktu kurang dari dua
jam. Seolah ditarik ke dalam layar lalu kembali terlempar begitu film selesai.
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar