Entri Populer

Jumat, 01 Juni 2012

Lovely Man


Jilbab, Waria dan Jakarta

Sebuah fim yang indah dengan karakter dan dialog yang mengalir alami. Ketika seorang anak perempuan berjilbab melakukan perjalanan ke Jakarta menemui ayah yang sudah lama meninggalkannya yang ternyata seorang waria.

Duduk dalam sebuah kereta yang sedang berjalan, seorang perempuan berjilbab tampak resah. Dia memandangi secarik kertas alamat yang nantinya beberapa menit kemudian kita ketahui, dia sedang mencari seseorang. 


Namanya Cahaya (Raihaanun). Tepat di alamat yang tertera, dia mendapati para banci Taman Lawang (tempat kumpul waria pekerja seks komersil di Jakarta) sedang berjejer di pinggir jalan. Dia lalu  bertanya, “Ada yang tahu Syaiful?”. Hampir semua menggeleng. Tapi ada satu yang kemudian berseru kalau yang dimaksud itu ‘Ipuy’ bukan Syaiful, dan menunjuk ke salah satu diantara mereka. 

Dalam jarak dua meter Cahaya memandangi lekat ayahnya (Donny Damara) yang kini bersosok perempuan dengan rambut panjang (wig), muka penuh polesan bedak, baju merah ketat menyala dan sepatu berhak tinggi. Keduanya bertatap lama, seolah berdiam untuk satu hal: menerima atau menolak kenyataan?




Demikianlah sepuluh menit pertama film Lovely Man menggiring penontonnya. Setelah hampir belasan tahun hidup tanpa Ayah, Cahaya kemudian memutuskan untuk menemukannya sendiri. Dari adegan awal itu, cerita film ini mengalir dengan baik. Kita, penonton seperti diajak untuk menebak-nebak, apakah hubungan Ayah-Anak ini akan baik-baik saja. Apakah sang Ayah yang dulunya kuli sekarang waria mau menerima anaknya yang taat (karena jilbab adalah penanda muslim yang patuh pada perintah Tuhan). 
 
Sementara itu di sisi Cahaya, kita diajak bersimpatik. Apakah dia akan malu mendapati ayah yang selama ini menafkahinya dari ‘jual diri’, lalu dengan bersedih hati pulang kembali ke kampung halaman, atau ia menerima kenyataan dan berdamai dengannya. 

Di bagian inilah kemudian Teddy Soeriaatmadja sebagai penulis dan sutradara bermain-main dengan pendalaman menyeluruh lewat karakter, dialog dan mengemas Jakarta sebelum matahari terbit keesokan harinya. Dia seolah mengajak penonton untuk melihat paradoks dan sisi lain jakarta yang kelam lewat lorong gang, warteg, dan kehidupan malam yang tak seindah Jakarta di kartu pos. 

Dengan penceritaan yang demikian membuat film ini menjadi berbeda. Dia tak menjual karakter yang bisa dibilang hero, tapi justru anti-hero. Sang ayah di sini bukanlah sosok ideal yang mengayomi dan bertanggungjawab terhadap keluarga. Dia hanyalah sosok ayah yang jauh dari ideal, bahkan justru seorang waria. 

Sementara di sosok Anak, juga bukan anak yang sempurna. Sekilas tampak sederhana dengan keluguannya dan kebesaran hati menerima kenyataan. Tapi, sebenarnya dia juga lari dari apa yang sedang ia hadapi, kenyataan yang tidak seharusnya terjadi buat lulusan pesantren dan muslimah taat karena kebablasan saat menjalin hubungan dengan lawan jenis. 

Kekuatan Karakter dan Subplot 

Film ini sebenarnya sederhana dengan penceritaan lewat dua sosok Ayah dan Anak. Namun, ada subplot yang kemudian menguatkan. Seperti hadirnya ‘kekasih’ Syaiful yang ternyata juga seorang lelaki, orang-orang yang menagih hutang dengan beringas, dan bagaimana Syaiful bertahan hidup di Jakarta yang keras. Lalu Cahaya, dia tidak sekedar mencari sosok Ayah yang hilang, tapi ada terselip hubungannya dengan kekasih yang ia hindari, hubungannya yang memburuk dengan sang ibu, dan keputusannya meninggalkan bangku sekolah. 

Bagian-bagian kecil inilah yang kemudian membuat film mengalir dengan sendirinya. Ditambah lagi dengan dialog-dialog cerdas yang tepat dan cocok pada karakter. Seperti saat Syaiful dengan lugas mengungkapkan kalau dia meski seorang ayah tetaplah juga seorang pria yang bebas menentukan jalan hidupnya sendiri. Soal tanggungjawab, dia sudah rutin mengirimkan uang untuk nafkah hidup.
Beberapa dialog seperti menohok, menyentuh dan mengandung ironi yang membuat penonton akan tersenyum tapi juga sekaligus bersedih hati. 

Ketika Cahaya ingin menerima atau diterima oleh Ayahnya, dia lalu membuka jilbab. Sementara Syaiful, untuk berdamai dengan keadaan, dia mau menemani Cahaya meski hanya sampai matahari terbit. Keduanya adalah pilihan-pilihan yang sulit jika dibawa ke kehidupan nyata, namun benar adanya. 

Sekilas film ini mengingatkan pada ELIana, eliANA karya Riri Riza. Kemiripannya terlihat dari bagaimana penceritaan mengalir lewat hubungan emosional dua orang di kota besar Jakarta saat malam hari. Di ELIana, eliANA penonton diajak melihat Jakarta lewat sosok Eliana dan Bunda. Sementara di Lovely Man, itu terjadi lewat sosok Cahaya dan Syaiful. 

Kedua film ini pun menggunakan subplot yang saling menguatkan, yang kemudian membuat film mengalir dengan indah dan berbeda. Tapi, meskipun ada kemiripan, masing-masing tentu jelas berbeda dalam penggarapannya. 

Rentan Kontroversi 

Dilihat secara menyeluruh, ada yang menarik sebenarnya dari penayangan Lovely Man di bioskop, terutama dengan kondisi dan situasi yang rentan dengan pencekalan dan pelarangan. Film ini bisa jadi tayang pada Mei 2012, tapi sebenarnya untuk pertama kali, film ini sudah lebih dulu tayang saat pembukaan Festival Film Q, September 2011 lalu. Media dan kritikus memberikan puja-puji, namun saat itu belum ada tanda-tanda film ini akan tayang di bioskop. Di sisi lain, Front Pembela Islam memboikot Festival Film Q.

Pada kesempatan itu, Teddy sempat mengungkapkan kalau dirinya belum yakin kalau film ketujuhnya selain Banyu Biru, Ruang dan Ruma Maida itu akan lulus sensor dan tayang di bioskop. Karena itu dia memilih mengirimkannya ke berbagai festival di luar negeri, seperti diantaranya Busan, Bangkok, AS dan Hongkong. Di Asian Film Awards, Donny Damara kemudian terpilih sebagai pemenang kategori aktor terbaik mengalahkan Andy Lau. Mengejutkan? Tidak juga, karena dalam film ini Donny benar-benar total dan membuat sosok waria menjadi sangat hidup dan berkesan dekat. 

Entah karena pencapaian ini atau ada sebab lain, maka film ini akhirnya sampai juga di bioskop tanah air dan itu berarti lulus sensor. Penggambaran waria dan seorang perempuan yang membuka jilbabnya demi bisa diterima oleh keadaan sangatlah berpotensi menjadi kontroversi. Begitu juga beberapa adegan kekerasan yang mungkin akan kena gunting sensor. 

Maka, patutlah kemudian dirayakan akan hadirnya film Lovely Man dalam kancah perfilman Indonesia. Film ini menjadi tampak indah karena dia berbeda; bukan film dengan skenario tiga babak yang mudah ditebak, bukan film horor yang cheesy, bukan pula film drama romantis yang unyu. 

Sudah lama rasanya publik Indonesia kehilangan film-film berkarakter kuat, dialog matang dan gambar yang mengalir indah sehingga penonton tak sadar sudah sampai di penghujung film seperti Lovely Man. Bagaimana kemudian mereka lalu merasa tersentuh dan menyadari dirinya telah larut dalam waktu kurang dari dua jam. Seolah ditarik ke dalam layar lalu kembali terlempar begitu film selesai. *  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar