Omnibus yang terdiri dari 3 film pendek dari tiga genre berbeda; horor
thriller, drama, dan aksi. Menarik dari segi penggarapan yang segar dan ragam inovasi. Sesi drama tampak lebih rapih dan
menjanjikan.
Film dibuka dengan seorang pria (Winky Wiryawan) yang gelisah tak bisa tidur. Insomnia, gangguan tak bisa tidur malam hari dan penonton diberi tahu lewat jam digital di samping tempat tidur, kalau waktu beranjak tengah malam, dini hari, hingga keesokan paginya.
Si pria eksekutif muda punya kekasih Nina. Mereka sudah lama
pacaran dan akan menikah. Semua tampak sempurna, tapi ada satu masalah yang
tersimpan rapih dan baru terungkap hingga di akhir film.
Selain menonjolkan karakter pada ekspresi si pemeran,
penulis dan sutradara Witra Asliga dan Andri Chung mencoba memberi kesan nuansa
kelam di gambar yang sedikit buram dan gelap. Ada beberapa kejutan yang memberi
kesan seram di beberapa adegan, tapi tidak begitu menakutkan.
Sayangnya Insomnight
bertempo agak sedikit lambat dan hanya memberi ruang pada satu peran, sehingga
membuat ketertarikan menurun di tengah film. Kesan seram yang dituju juga tidak
begitu sampai, jadi kurang berasa gregetnya.
Dari awal film ini sudah berasa komedinya dan klasik dengan
penanda lokasi di Rawa Kucing di tahun 1980. Para pemeran semuanya janggal,
kalau tidak mau dibilang unik atau alien. Ada wanita tua berambut junkies, pria
pesolek berkumis, perempuan muda dengan pakaian separuh modis, dan gigolo gagu
dengan dada berbulu.
Sudah menarik, bukan? Ok, masih ada yang lebih menarik dari
para pemeran alien ini.
Ayin, si pemeran utama ternyata sedang berulang tahun, dan
ia mau kado: gigolo segar alias perjaka. Maka hadirlah, Welly, tampan tapi sayangnya gagu yang dikirim dari Rawa Kucing oleh germo bertubuh tambun. Insiden
demi insiden hadir dengan cermat dan hemat. Setiap adegan menjadi penanda yang
mengarah pada satu akhir yang mengejutkan.
Sekiranya tidak ada lagu penutup yang verbal, Rawa Kucing
menjadi film yang asik dan mungkin lebih dari itu. Andri Chung sebagai
sutradara berhasil membuatnya menarik, dan berkesan. Seandainya bisa dibuat
versi film panjang.
Dengan beberapa adegan laganya, film ini saya
masukkan kategori film aksi. Siapa yang tidak senang dengan peran heroik ketika
antagonis menjatuhkan lawan dengan pukulan-pukulan berkoreo apik? Apalagi kalau
yang menjadi hero adalah perempuan cantik dengan gaun malam yang elegan.
Menjanjikan, bukan?
Ah film ketiga ini sudah menarik sampai di sana. Tapi sayangnya,
lagi-lagi ada yang membuat cela. Diantaranya beberapa adegan yang menganggu,
seperti penempatan produk sponsor, atau adegan kunci yang hadir tanpa
penjelasan lebih lanjut yang membuat penonton masih bertanya-tanya, tapi
kemudian sudah sampai di akhir film.
Sutradara william chandra sepertinya sudah berusaha maksimal. Setidaknya adegan aksi yang disuguhkan cukup asik dan membuat yang nonton, membela si protagonis.setelah Iko uwais di The Raid, Hannah Alrasyid dalam Impromptu tak kalah mencuri perhatian.
Secara keseluruhan, 3Sum adalah film omnibus yang menjanjikan dari debut sutradara yang serius berupaya memberikan film Indonesia yang baik. Dan upaya itu semestinya mendapat tempat lebih baik. Siapa tahu bisa lahir karya berikutnya yang lebih menjanjikan dan memberi warna baru di kemudian hari. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar