Enam cerita pendek tentang orang-orang Jakarta yang galau.Berusaha
keras menyentuh hati penonton, sayang hanya di permukaan.
Bermain dengan banyak
kata-kata dan sangat kontekstual.
Lalu?
dua orang Jakartensis yang sama-sama dikhianati ini akan merasa senasib. menghabiskan malam menyusuri kota.
kemana? menapaki jejak kesukaan pasangan masing-masing, sambil curhat dan tertawa.
Loh kok?
Iya begitulah. dua orang yang tadinya asing ini masih punya hati untuk kemudian menghabiskan malam bersama. dan dalam waktu yang tak sampai 24 jam itu, mereka saling suka.
dan coba tebak dimana mereka akan berakhir?
Asmirandah dan Surya Saputra tampak berusaha dengan keras menampilkan chemistry dan menyampaikan maksud cerita, tapi rasanya masih kurang natural.
2. Masih Ada
Apakah seorang anggota Dewan masih punya hati ketika sudah terlalu korup?
Di bagian dua ini, bayangkanlah seorang anggota dewan tanpa mobil dan sopir? Dia akan memilih jalan kaki. Oke.
Apa yang kira-kira bakal ia temui? Satpam kompleks, tukang ojek, sopir taksi, anak-anak yang berebut makanan, dan anak-anak muda pengangguran yang ngobrol pinggir jalan. Terakhir, teman-temannya yang tipikal anggota dewan penuh sindiran.
Mungkin maksudnya Salman Aristo ingin memperlihatkan tipikal orang Jakarta yang selama ini jadi bahan perbincangan; anggota dewan yang korupsi dan mereka yang kerap membicarakannya di warung kopi. lalu dipertentangkan dengan anak kecil yang karena lapar mesti berebut makanan.
entah kenapa, rasanya ada sisi yang hilang untuk sampai menggugah hati di bagian ini.
3. Kabar Baik
polisi jujur diantara yang korup.
Di bagian ini kita diajak melihat sisi dalam kantor polisi. ada yang santai, main handphone dan berusaha korup. tapi diantara mereka, ada satu yang jujur, rambutnya klimis.
ujiannya; ia mesti membuat berkas acara pemeriksaan seorang pria yang tak lain ayahnya yang kabur meningalkannya dan sang ibu sejak lima tahun lalu.
Suasana menjadi kagok. Secara logika dia harusnya melempar kasus ini ke anggota polisi yang lain, tapi sayangnya yang ada justru polisi korup. dia memilih bertahan untuk profesional meski dengan ekspresi yang luar biasa menahan amarah. Ah, andai saja Andhika Pratama bisa bermain lebih baik.
4. Hadiah
Entah kurang beruntung atau memang sudah suratan kalau menjadi penulis, dalam hal ini penulis skenario film tak bisa jadi kaya. uang pas-pasan. isi kulkas habis.
dan tanpa komputer, menulis dengan pulpen dan kertas. (menyedihkan sekali memang). lalu hutang?
"Maka terima saja tawaran itu, tak usah sok idealis". voice over seorang teman.
"Apa judul filmnya"
"Pocong Impoten!"
Di bagian ketiga film ini cukup asik, karena Dwi Sasono main baik sekali. Tapi kemudian agak tersendat ketika loncat pada adegan berikutnya, pada sosok anak yang ingin membelikan kado. dari sini sudah mulai menurunkan mood. ada kesan dibuat-buat, yang menghilangkan unsur natural yang sudah dibangun sejak awal.
5. Dalam Gelap
Maksudnya yang perempuan tahu kalau suaminya tahu kalau dirinya sudah selingkuh dengan pria lain. karena dia sendiri tahu yang suami juga main gila dengan bawahannya yang masih abege.
sepasang suami istri yang sama-sama selingkuh ini pada akhirnya saling terbuka saat mati lampu. dalam gelap mereka tak tahu mau mengerjakan apa. semua gadget mati.
gambar adegan di sebelah terlalu terang, di film sama sekali tak ada cahaya. wajah Dion Wiyoko dan Agni Pratistha sama sekali tak kelihatan. Tapi one shot dengan dialog panjang yang saling lontar membuat bagian ini mengalir dengan baik.
Shahnaz Haque adalah Fatimah, janda penjual kue apem di Pasar Senen yang jablak. bahasa betawinya sangat kental dan termasuk kasar.
"Elo kangen sama gue, apa kue apem gue apa sama .."
Oke, dia bicara begitu sama berondong keturunan Tionghoa yang naksir padanya. Keduanya saling jatuh cinta tapi mengungkapkannya dengan cara berbeda.Fatimah cemburu. Cowoknya masih main-main sementara ia ingin melangkah serius. Bagian cerita ini agak berasa mengganggu.
Secara keseluruhan, Jakarta Hati masih berasa kurang greget dan menyentuh dibanding film yang ditulis dan disutradarai Salman Aristo sebelumnya Jakarta Maghrib. Apa ya, mungkin karena kurang alami dan terlalu ingin buru-buru menyampaikan semuanya lewat rangkaian kata-kata. sehingga lupa memberi ruang. atau itu hanya selera saja yang berbeda. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar