#1
Judul Film : cin(T)a
Sutradara :
Sammaria Simanjuntak
Pemain : Sunny
Soon, Saira Jihan
Produksi :
Sembilan Matahari
Film cin(T)a
menyodorkan tema yang cukup berani untuk diputar di Indonesia, yang masih tabu
dibicarakan sekaligus menyinggung keberagaman agama, suku dan ras. Menontonnya
haruslah dengan kacamata positif, karena dialog yang digunakan masih menjadi
perdebatan dan kadang bisa mengundang konflik.
Film ini
mengisahkan Annisa (Saira Jihan), seorang Jawa muslim yang juga mahasiswi
tingkat akhir yang kuliahnya terhambat karena karirnya di dunia film. Popularitas
dan kecantikan membuatnya kesepian, sehingga ia bersahabat dengan jarinya
sendiri yang selalu digambari bermuka sedih. Sampai suatu hari datang ‘jari’
lain yang menemani.
Dialah jari milik
Cina (Sunny Soon), seorang Cina kristen yang menjadi mahasiswa baru di kampus
yang sama. Berbeda dengan Annisa, Cina yang miskin tapi cerdas selalu bersifat
optimistis dan yakin bisa mewujudkan impiannya hanya dengan modal iman.
Sang sutradara
menciptakan satu karakter lagi yakni (T), sebagai karakter yang paling tidak
bisa ditebak. Setiap orang merasa mengenal-Nya. Setiap karya seni mencoba untuk
menggambarkan-Nya, tapi tidak ada yang benar-benar mampu menggambarkan-Nya. (T)
mencintai Cina dan Annisa, tapi Cina dan Annisa tidak dapat saling mencintai
karena mereka memanggil (T) dengan nama yang berbeda.
Hubungan asmara
Cina dan Annisa diwarnai perdebatan dan dialog yang jujur, bahkan terkesan naif
namun cerdas. Berbagai perdebatan soal agama yang selama ini dianggap tabu dikupas
habis oleh keduanya. Dari mulai soal Tuhan, pengeboman gereja-gereja, perbedaan
agama dan perbedaan cara menyembah hingga konflik batin akan perbedaan itu
sendiri.
Film karya anak
muda asal Bandung ini memang awalnya merupakan film independen. Namun, berhasil
dieksekusi dengan cerdas dan kreatif dan patut ditonton. Film ini bahkan
mendapat kesempatan pertama diputar di National Film Theater – British Film
Institute London, Inggris pada Mei lalu. Di Indonesia film ini juga telah
ditayangkan pada Jogja-Netpac Asian Film Festival 2009. Akhir Agustus ini,
cin(T)a juga menjadi film penutup di Indonesian Film Festival 2009 di Sydney
dan Melbourne, Australia.
Dalam pembuatannya,
Sammaria Simanjuntak sang sutradara mengatakan film cin(T)a menggunakan dua
konsep sinematografi. Pertama,
mengingat keberadaan Tuhan sangat subjektif pada setiap orang, Sammaria
meletakkan penonton pada 'sudut pandang Tuhan'. Reaksi penonton pada film
mencerminkan persepsi penonton itu sendiri tentang Tuhan. Kedua, Sammaria menggunakan konsep ‘dunia hanya
milik berdua, yang lain off-frame.’ Karena ketika kita jatuh cinta, dunia
serasa milik berdua. Sehingga dari awal sampai akhir, tidak heran kalau Cina
dan Annisa menjadi fokus frame. Meski berbeda agama, keduanya mencoba berdamai
dengan perbedaan.
Selain frame yang
mencolok dengan banyaknya pengambilan closeup, film ini kaya akan simbol.
Dimulai dengan pilihan nama, lambang garuda dengan tulisan bhinneka tunggal
ika, semut, hingga secara eksplisit tulisan berukuran besar ’berbeda-beda tapi
tetap satu’.
#2
Judul : Rumah Dara
Sutradara: Mo Brothers
Pemain : Julie Estelle, Shareefa Daanish
Produksi : Nation Pictures and Merah
Production
Pasangan Adjie (Ario Bayu) dan Astrid (Sigi
Wimala) menemui Ladya (Julie Estelle) di Bandung.
Adjie ingin meminta maaf pada adiknya itu setelah luka lama yang membekas di
diri Ladya, sekaligus pamitan karena ia diterima kerja di Australia. Dalam perjalanannya itu,
Adjie ditemani tiga teman lamanya, Jimmi (Daniel Mananta), Eko (Dendy Subangil)
dan Alam (Mike Lucock).
Saat mengarah kembali ke Jakarta, mereka bertemu seorang perempuan
yang mengaku habis dirampok bernama Maya (Imelda Therine). Tak tega
meninggalkan Maya sendirian dalam hujan yang mengguyur, mereka mengantarkan
Maya pulang.
Di rumah Maya, mereka bertemu ibu Dara
(Shareefa Danish), dan dua anak laki-lakinya, Adam (Arifin Putra) dan Armand
(Ruli Lubish). Mereka ditawarkan untuk beristirahat dan makan malam sebelum
melanjutkan perjalanan. Tawaran yang kemudian menjadi petaka dan awal dari
kengerian yang mereka temui.
Usai makan malam, semuanya tertidur pulas.
Tahu-tahu saat bangun, mereka sudah terikat dan berada di gudang. Alam menjadi
korban pertama yang dimutilasi secara sadis oleh Armand. Ladya yang menjadi
korban berikutnya memberontak.
Di adegan lain, Adjie dan Astri dicekam
rasa takut yang luar biasa. Adjie diikat oleh Dara di depan kamar. Sementara
Astrid yang mengunci diri di kamar mulai mengalami kontraksi dan melahirkan.
Satu persatu dari mereka dikejar rasa ngeri
karena diburu dengan cara berbeda. Rumah Dara menjadi tempat eksekusi yang
tanpa ampun. Darah berceceran dimana-mana. Korban makin bertambah saat tim
polisi datang ke rumah Dara setelah bertemu Eko yang separuh telanjang di
jalanan.
Rumah Dara menjadi film slasher atau
horror-thriller pertama Indonesia
yang menabrak batas rasa sadis dan ngeri yang selama ini masih terbatas.
Penggunaan pisau, pistol hingga gergaji mesin memberi efek kejut yang luar
biasa. Terutama saat semua alat itu digunakan dengan emosi memuncak dan rasa
kebencian yang besar.
Mo Brothers sebagai sutradara memang ingin
mewujudkan niatnya untuk memberi alternative baru dalam deretan film horror Indonesia.
Konsep penceritaan dan cara penggarapan yang beda menjadikan Rumah Dara menjadi
alternative film horror yang menjanjikan.
Kelebihan film yang menjadi debut Mo
Brothers dalam film panjang ini terletak pada konsep penceritaan dan
pengambilan gambar. Mereka juga tak tanggung-tanggung dalam menciptakan set dan
property yang mendukung. Seperti aksi ruang yang terbakar dengan darah yang
berceceran hampir si setiap ruang.
Selebihnya ada pada akting yang apik dari
para aktor yang sebenarnya sudah bertalenta sejak awal. Danish yang sebelumnya
bermain dalam film pendek Dara punya kesempatan menggali lebih dalam untuk
tampil di Rumah Dara. Pendalamannya tak sia-sia, karena di festival film di Puchon, Korea
ia berhasil meraih penghargaan The Best Actress. Sebuah pembuktian kalau
aktingnya di film ini masuk dalam perhitungan para juri internasional di Puchon
International Fantastic Film Festival.
Sebelum diputar serentak di bioskop tanah air
pada 22 Januari 2010, film ini sudah diputar lebih dulu di berbagai negara, diantaranya
Singapura, Thailand,
Amerika, dan Australia.
Dan sebagian besar diantaranya mendapat pujian dari kritikus film.
#3
Judul : Hari untuk Amanda
Sutradara: Angga Dwimas Sasongko
Pemain : Oka
Antara, Fanny Fabriana
Produksi : MNC Pictures
Jelang pernikahannya, Amanda (yang
dimainkan dengan pas oleh Fanny Febriana) menemui sang mantan pacar Hari (Oka
Antara). Tujuannya ingin mengembalikan kotak hadiah dan meminta pria yang
pernah menjalin kisah kasih dengannya selama delapan tahun itu untuk
mengikhlaskannya. Di pertemuan yang kaku itu, Amanda juga meminta Hari untuk menemaninya
membagikan undangan pernikahannya dengan Dodi (Reza Rahadian) ke sejumlah
sejawat.
Pertemuan kembali keduanya menjadikan
suasana kikuk pada awalnya. Hari yang slengean masih berharap Amanda kembali
padanya. Sementara, bagi Amanda saat berdekatan dengan Hari, membuat dirinya
dilanda rasa galau. Persiapan pernikahan yang bermasalah turut menjadikan hubungannya
dengan Dodi memburuk. Amanda makin resah. Ia dihadapkan pada dua pilihan.
Maka, perjalanan satu hari membagikan undangan
itu menjadi satu hari yang bermakna bagi Amanda. Berdua, mereka menemui teman
orangtua Amanda, mantan pacar Dodi, hingga guru saat masih duduk di bangku SMU.
Saat memberikan undangan menjadi adegan
yang menawarkan kelucuan tersendiri. Khususnya, saat Hari dikira sebagai
pasanganAmanda yang akan dinikahinya. Ada
ironis yang menyayat hati. Di satu sisi, keduanya seakan ingin bersatu tapi undangan
pernikahan berkata lain.
Saat fitting kostum pernikahan menjadi
momen paling menyentuh. Seakan tidak ada pilihan lain, Hari mesti menggantikan
Dodi yang sibuk dengan pekerjannya untuk fitting. Amanda dan Hari saling tatap.
Keduanya tak bisa menyangkal ada rasa. Tapi, Amanda mesti memilih. Dan pilihan
itu bukanlah karena rasa ingin, tapi butuh. Dan ia merasa harus menuntaskannya
malam itu.
Film ini bercerita tentang bagaimana
menentukan pilihan.Keinginan awal Angga Dwimas Sasongko untuk
mengorbitkan Fanny Febriana yang bermain sebagai pemeran utama pun berkata
lain. Karena aktris muda berbakat itu sudah terlebih dahulu tampil lewat rilis
film Preman In Love dan Serigala Terakhir. Padahal, syuting kedua film tersebut
dilakukan Fanny setelah Hari untuk Amanda.
Agaknya tidak berlebihan kalau porsi besar
diarahkan pada Fanny. Karena dalam film ini, ialah menjadi pusat penceritaan.
Kegalauannya akan dua pilihan, seperti yang lazim dialami gadis di usia
pertengahan 20 tahunan di Jakarta
menjadikan cerita sangat dekat dan nyata. Beberapa kisah juga tampak logis dan
tidak terkesan dipaksakan.
Kelebihan film ini terletak di skrip yang
matang dan cerdas yang dibuat duet Ginatri S Noer dan Salman Aristo. Beberapa
dialog merupakan pergulatan batin yang dialami dalam keseharian. Beruntung,
sutradara yang pernah membesut film Jelangkung 3 ini turut didukung pemeran seperti
Fanny dan Oka Antara. Kedua pemran utama ini cukup berhasil menampilkn chemistry
yang kuat dan menghadirkan kelucuan yang pas.
Setelah sekian lama kisah drama romantis
yang real hadir di bioskop, Hari untuk Amanda bisa
menjadi pilihan. Selain unsur kedekatan, skrip dan akting, ada ekspresi dan
tingkatan turun naik emosi yang dihadirkan film ini. Sejumlah jurnalis film
yang biasanya kritis, juga memuji film ini usai press screening. Selamat untuk
Angga dan bisa jadi ia masuk jajaran sutradara muda yang akan ditungggu karya
berikutnya.
#4
Judul : Minggu Pagi di Victoria Park
Sutradara : Lola Amaria
Pemain: Titi Sjuman, Donny Alamsyah
Produksi : Pic[k]Lock Production
Genre: Drama
Cerita berpusat pada tokoh Mayang (Lola
Amaria) yang berangkat ke Hongkong untuk mencari adiknya, Sekar (Titi Sjuman) yang
hilang tanpa kabar setelah dua tahun menjadi TKW di sana. Perempuan tertutup, skeptis dan keras
itu tidak kuasa menolak ketika sang bapak sudah menjadwalkan keberangkatannya
menjadi TKW, meski ia lebih senang menjadi petani tebu.
Di Hongkong, Mayang menjadi pembantu rumah
tangga sebuah keluarga bahagia yang baik hati. Selain memasak dan mengurusi
keluarga, dia juga mengasuh anak laki-laki tunggal keluarga bernama Sae Tjun.
Di saat mengantar bocah itu ke sekolah, Mayang bertemu sesama TKW dengan
profesi yang serupa bernama Sari. Keduanya bersahabat dan saling tukar cerita.
Atas saran Sari juga, Mayang bertemu
Gandhi, pria yang menjadi pengurus para TKW asal Indonesia di Hongkong.
Ternyata, tidak hanya Mayang yang sedang mencari Sekar, Gandhi juga. Pria
bertanggungjawab ini punya rasa bersalah ketika pernah tak memberi pinjaman
uang.
Sementara itu, Sekar sendiri ternyata
sedang dirundung masalah yang cukup besar. Paspornya tertahan di perusahaan
kredit dimana ia meminjam, sehingga tak bisa pulang. Sementara kontrak kerjanya
sudah habis, Sekar jadi luntang lantung dengan status illegal dan tanpa
kerjaan. Dengan terpaksa, perempuan anak kesayangan bapak itu bekerja
serabutan, termasuk menjadi pelacur amatiran.
Dalam pencariannya, Mayang bertemu Vincent,
teman Gandhi yang menaruh hati padanya. Meski di awal bersikap ketus, lambat
laun ada rasa cinta yang mengalir diantara keduanya. Mayang mulai berani
mengungkap, kalau dirinya sama sekali tidak menyukai Sekar. Karena sejak dari
kecil, dirinya selalu berada di bawah
bayang-bayang Sekar yang memiliki banyak kelebihan, yang cantik dan cerdas.
Lalu, bapak pilih kasih dan mengabaikannya.
Pencarian Sekar tidak hanya menjadi sekedar
pencarian saudari yang hilang bagi Mayang, tapi sekaligus menjadi tantangan
untuk mencari jati dirinya sendiri. Menjawab segala keraguan dan rasa marah
yang tertanam dalam dirinya sejak dulu terhadap Sekar.
Film ini tidak hanya mengangkat seputar TKW
dengan segala data-data statistik yang mengiringinya. Lola berkat skrip matang
yang ditulis Titien Watimena menghadirkan drama yang menyentuh dan mengharu
biru. Ada
adegan yang akan tanpa disadari menguras air mata dengan perlahan dan
sentimental.
Cerita mengalir dengan balutan kisah nyata
yang dialami oleh para TKW. Tidak ada yang mendapat kekerasan dari majikan,
yang ada masalah personal lain yang jadi sorotan. Diantaranya, diperotin oleh
kekasih asal Pakistan
yang dipuja karena mirip Shah Rukh Khan, atau terlibat hubungan kasih sesama
jenis. Persoalan utama datang dari perusahaan kredit yang seperti rentenir dan
menjerat para TKW dengan rayuan pinjaman.
Sedari awal, film ini seperti mengangkat
peran para TKW yang digambarkan dengan sosok yang tangguh dan tegar dengan
segala persoalan yang dihadapinya. Meski ada juga yang putus asa dan tak kuasa
menahan diri sampai melompat dari gedung tinggi. Semua persoalan dan lika-liku
ini dibalut dengan penggarapan yang maksimal oleh Lola. Perpindahan adegan
mengalir dengan baik dan berhasil mengaduk-aduk emosi.
Secara sinematografi, film ini juga
menyuguhkan set dan penataan gambar yang memanjakan mata. Dari set perkebunan
tebu di Jawa Timur hingga dibenturkan dengan kelap kelip lampu gedung megah di
Hongkong. Keseharian dan seluk beluk yang dilihat TKW Hongkong hadir dengan
segala detailnya.
Tak mengherankan kalau produksi film ini
membutuhkan waktu hingga dua tahun dari mulai riset, syuting dan editing.
Semuanya tergarap dengan baik. Tidak hanya skrip cerita, akting, dan
sinematografi, tapi juga dari musik dan kostum. Semuanya saling dukung. Hingga
usai menontonpun, film ini masih akan berkesan dan menempel di ingatan. Lola
selangkah lebih maju setelah membesut Beth dan Betina. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar