Entri Populer

Kamis, 12 April 2012

4 Movies 4 Strong Characters


#1
Judul Film : cin(T)a
Sutradara : Sammaria Simanjuntak
Pemain : Sunny Soon, Saira Jihan
Produksi : Sembilan Matahari

 
Film cin(T)a menyodorkan tema yang cukup berani untuk diputar di Indonesia, yang masih tabu dibicarakan sekaligus menyinggung keberagaman agama, suku dan ras. Menontonnya haruslah dengan kacamata positif, karena dialog yang digunakan masih menjadi perdebatan dan kadang bisa mengundang konflik.

Film ini mengisahkan Annisa (Saira Jihan), seorang Jawa muslim yang juga mahasiswi tingkat akhir yang kuliahnya terhambat karena karirnya di dunia film. Popularitas dan kecantikan membuatnya kesepian, sehingga ia bersahabat dengan jarinya sendiri yang selalu digambari bermuka sedih. Sampai suatu hari datang ‘jari’ lain yang menemani.

Dialah jari milik Cina (Sunny Soon), seorang Cina kristen yang menjadi mahasiswa baru di kampus yang sama. Berbeda dengan Annisa, Cina yang miskin tapi cerdas selalu bersifat optimistis dan yakin bisa mewujudkan impiannya hanya dengan modal iman. 


 

Sang sutradara menciptakan satu karakter lagi yakni (T), sebagai karakter yang paling tidak bisa ditebak. Setiap orang merasa mengenal-Nya. Setiap karya seni mencoba untuk menggambarkan-Nya, tapi tidak ada yang benar-benar mampu menggambarkan-Nya. (T) mencintai Cina dan Annisa, tapi Cina dan Annisa tidak dapat saling mencintai karena mereka memanggil (T) dengan nama yang berbeda.

Hubungan asmara Cina dan Annisa diwarnai perdebatan dan dialog yang jujur, bahkan terkesan naif namun cerdas. Berbagai perdebatan soal agama yang selama ini dianggap tabu dikupas habis oleh keduanya. Dari mulai soal Tuhan, pengeboman gereja-gereja, perbedaan agama dan perbedaan cara menyembah hingga konflik batin akan perbedaan itu sendiri.

Film karya anak muda asal Bandung ini memang awalnya merupakan film independen. Namun, berhasil dieksekusi dengan cerdas dan kreatif dan patut ditonton. Film ini bahkan mendapat kesempatan pertama diputar di National Film Theater – British Film Institute London, Inggris pada Mei lalu. Di Indonesia film ini juga telah ditayangkan pada Jogja-Netpac Asian Film Festival 2009. Akhir Agustus ini, cin(T)a juga menjadi film penutup di Indonesian Film Festival 2009 di Sydney dan Melbourne, Australia.

Dalam pembuatannya, Sammaria Simanjuntak sang sutradara mengatakan film cin(T)a menggunakan dua konsep sinematografi. Pertama, mengingat keberadaan Tuhan sangat subjektif pada setiap orang, Sammaria meletakkan penonton pada 'sudut pandang Tuhan'. Reaksi penonton pada film mencerminkan persepsi penonton itu sendiri tentang Tuhan. Kedua, Sammaria menggunakan konsep ‘dunia hanya milik berdua, yang lain off-frame.’ Karena ketika kita jatuh cinta, dunia serasa milik berdua. Sehingga dari awal sampai akhir, tidak heran kalau Cina dan Annisa menjadi fokus frame. Meski berbeda agama, keduanya mencoba berdamai dengan perbedaan.

Selain frame yang mencolok dengan banyaknya pengambilan closeup, film ini kaya akan simbol. Dimulai dengan pilihan nama, lambang garuda dengan tulisan bhinneka tunggal ika, semut, hingga secara eksplisit tulisan berukuran besar ’berbeda-beda tapi tetap satu’. 

#2 
Judul : Rumah Dara
Sutradara: Mo Brothers
Pemain : Julie Estelle, Shareefa Daanish
Produksi : Nation Pictures and Merah Production

 Pasangan Adjie (Ario Bayu) dan Astrid (Sigi Wimala) menemui Ladya (Julie Estelle) di Bandung. Adjie ingin meminta maaf pada adiknya itu setelah luka lama yang membekas di diri Ladya, sekaligus pamitan karena ia diterima kerja di Australia. Dalam perjalanannya itu, Adjie ditemani tiga teman lamanya, Jimmi (Daniel Mananta), Eko (Dendy Subangil) dan Alam (Mike Lucock).

Saat mengarah kembali ke Jakarta, mereka bertemu seorang perempuan yang mengaku habis dirampok bernama Maya (Imelda Therine). Tak tega meninggalkan Maya sendirian dalam hujan yang mengguyur, mereka mengantarkan Maya pulang.

Di rumah Maya, mereka bertemu ibu Dara (Shareefa Danish), dan dua anak laki-lakinya, Adam (Arifin Putra) dan Armand (Ruli Lubish). Mereka ditawarkan untuk beristirahat dan makan malam sebelum melanjutkan perjalanan. Tawaran yang kemudian menjadi petaka dan awal dari kengerian yang mereka temui.

Usai makan malam, semuanya tertidur pulas. Tahu-tahu saat bangun, mereka sudah terikat dan berada di gudang. Alam menjadi korban pertama yang dimutilasi secara sadis oleh Armand. Ladya yang menjadi korban berikutnya memberontak.

Di adegan lain, Adjie dan Astri dicekam rasa takut yang luar biasa. Adjie diikat oleh Dara di depan kamar. Sementara Astrid yang mengunci diri di kamar mulai mengalami kontraksi dan melahirkan.

Satu persatu dari mereka dikejar rasa ngeri karena diburu dengan cara berbeda. Rumah Dara menjadi tempat eksekusi yang tanpa ampun. Darah berceceran dimana-mana. Korban makin bertambah saat tim polisi datang ke rumah Dara setelah bertemu Eko yang separuh telanjang di jalanan.

Rumah Dara menjadi film slasher atau horror-thriller pertama Indonesia yang menabrak batas rasa sadis dan ngeri yang selama ini masih terbatas. Penggunaan pisau, pistol hingga gergaji mesin memberi efek kejut yang luar biasa. Terutama saat semua alat itu digunakan dengan emosi memuncak dan rasa kebencian yang besar.

Mo Brothers sebagai sutradara memang ingin mewujudkan niatnya untuk memberi alternative baru dalam deretan film horror Indonesia. Konsep penceritaan dan cara penggarapan yang beda menjadikan Rumah Dara menjadi alternative film horror yang menjanjikan.

Kelebihan film yang menjadi debut Mo Brothers dalam film panjang ini terletak pada konsep penceritaan dan pengambilan gambar. Mereka juga tak tanggung-tanggung dalam menciptakan set dan property yang mendukung. Seperti aksi ruang yang terbakar dengan darah yang berceceran hampir si setiap ruang.

Selebihnya ada pada akting yang apik dari para aktor yang sebenarnya sudah bertalenta sejak awal. Danish yang sebelumnya bermain dalam film pendek Dara punya kesempatan menggali lebih dalam untuk tampil di Rumah Dara. Pendalamannya tak sia-sia, karena di festival film di Puchon, Korea ia berhasil meraih penghargaan The Best Actress. Sebuah pembuktian kalau aktingnya di film ini masuk dalam perhitungan para juri internasional di Puchon International Fantastic Film Festival.

Sebelum diputar serentak di bioskop tanah air pada 22 Januari 2010, film ini sudah diputar lebih dulu di berbagai negara, diantaranya Singapura, Thailand, Amerika, dan Australia. Dan sebagian besar diantaranya mendapat pujian dari kritikus film. 

#3 
Judul : Hari untuk Amanda
Sutradara: Angga Dwimas Sasongko
Pemain : Oka Antara, Fanny Fabriana
Produksi : MNC Pictures

 Jelang pernikahannya, Amanda (yang dimainkan dengan pas oleh Fanny Febriana) menemui sang mantan pacar Hari (Oka Antara). Tujuannya ingin mengembalikan kotak hadiah dan meminta pria yang pernah menjalin kisah kasih dengannya selama delapan tahun itu untuk mengikhlaskannya. Di pertemuan yang kaku itu, Amanda juga meminta Hari untuk menemaninya membagikan undangan pernikahannya dengan Dodi (Reza Rahadian) ke sejumlah sejawat.

Pertemuan kembali keduanya menjadikan suasana kikuk pada awalnya. Hari yang slengean masih berharap Amanda kembali padanya. Sementara, bagi Amanda saat berdekatan dengan Hari, membuat dirinya dilanda rasa galau. Persiapan pernikahan yang bermasalah turut menjadikan hubungannya dengan Dodi memburuk. Amanda makin resah. Ia dihadapkan pada dua pilihan.

Maka, perjalanan satu hari membagikan undangan itu menjadi satu hari yang bermakna bagi Amanda. Berdua, mereka menemui teman orangtua Amanda, mantan pacar Dodi, hingga guru saat masih duduk di bangku SMU.

Saat memberikan undangan menjadi adegan yang menawarkan kelucuan tersendiri. Khususnya, saat Hari dikira sebagai pasanganAmanda yang akan dinikahinya. Ada ironis yang menyayat hati. Di satu sisi, keduanya seakan ingin bersatu tapi undangan pernikahan berkata lain.

Saat fitting kostum pernikahan menjadi momen paling menyentuh. Seakan tidak ada pilihan lain, Hari mesti menggantikan Dodi yang sibuk dengan pekerjannya untuk fitting. Amanda dan Hari saling tatap. Keduanya tak bisa menyangkal ada rasa. Tapi, Amanda mesti memilih. Dan pilihan itu bukanlah karena rasa ingin, tapi butuh. Dan ia merasa harus menuntaskannya malam itu.

Film ini bercerita tentang bagaimana menentukan pilihan.Keinginan awal Angga Dwimas Sasongko untuk mengorbitkan Fanny Febriana yang bermain sebagai pemeran utama pun berkata lain. Karena aktris muda berbakat itu sudah terlebih dahulu tampil lewat rilis film Preman In Love dan Serigala Terakhir. Padahal, syuting kedua film tersebut dilakukan Fanny setelah Hari untuk Amanda.

Agaknya tidak berlebihan kalau porsi besar diarahkan pada Fanny. Karena dalam film ini, ialah menjadi pusat penceritaan. Kegalauannya akan dua pilihan, seperti yang lazim dialami gadis di usia pertengahan 20 tahunan di Jakarta menjadikan cerita sangat dekat dan nyata. Beberapa kisah juga tampak logis dan tidak terkesan dipaksakan.

Kelebihan film ini terletak di skrip yang matang dan cerdas yang dibuat duet Ginatri S Noer dan Salman Aristo. Beberapa dialog merupakan pergulatan batin yang dialami dalam keseharian. Beruntung, sutradara yang pernah membesut film Jelangkung 3 ini turut didukung pemeran seperti Fanny dan Oka Antara. Kedua pemran utama ini cukup berhasil menampilkn chemistry yang kuat dan menghadirkan kelucuan yang pas.

Setelah sekian lama kisah drama romantis yang real  hadir di bioskop, Hari untuk Amanda bisa menjadi pilihan. Selain unsur kedekatan, skrip dan akting, ada ekspresi dan tingkatan turun naik emosi yang dihadirkan film ini. Sejumlah jurnalis film yang biasanya kritis, juga memuji film ini usai press screening. Selamat untuk Angga dan bisa jadi ia masuk jajaran sutradara muda yang akan ditungggu karya berikutnya.

#4
Judul : Minggu Pagi di Victoria Park
Sutradara : Lola Amaria
Pemain: Titi Sjuman, Donny Alamsyah
Produksi : Pic[k]Lock Production
Genre: Drama

Cerita berpusat pada tokoh Mayang (Lola Amaria) yang berangkat ke Hongkong untuk mencari adiknya, Sekar (Titi Sjuman) yang hilang tanpa kabar setelah dua tahun menjadi TKW di sana. Perempuan tertutup, skeptis dan keras itu tidak kuasa menolak ketika sang bapak sudah menjadwalkan keberangkatannya menjadi TKW, meski ia lebih senang menjadi petani tebu.

Di Hongkong, Mayang menjadi pembantu rumah tangga sebuah keluarga bahagia yang baik hati. Selain memasak dan mengurusi keluarga, dia juga mengasuh anak laki-laki tunggal keluarga bernama Sae Tjun. Di saat mengantar bocah itu ke sekolah, Mayang bertemu sesama TKW dengan profesi yang serupa bernama Sari. Keduanya bersahabat dan saling tukar cerita.

Atas saran Sari juga, Mayang bertemu Gandhi, pria yang menjadi pengurus para TKW asal Indonesia di Hongkong. Ternyata, tidak hanya Mayang yang sedang mencari Sekar, Gandhi juga. Pria bertanggungjawab ini punya rasa bersalah ketika pernah tak memberi pinjaman uang.

Sementara itu, Sekar sendiri ternyata sedang dirundung masalah yang cukup besar. Paspornya tertahan di perusahaan kredit dimana ia meminjam, sehingga tak bisa pulang. Sementara kontrak kerjanya sudah habis, Sekar jadi luntang lantung dengan status illegal dan tanpa kerjaan. Dengan terpaksa, perempuan anak kesayangan bapak itu bekerja serabutan, termasuk menjadi pelacur amatiran.

Dalam pencariannya, Mayang bertemu Vincent, teman Gandhi yang menaruh hati padanya. Meski di awal bersikap ketus, lambat laun ada rasa cinta yang mengalir diantara keduanya. Mayang mulai berani mengungkap, kalau dirinya sama sekali tidak menyukai Sekar. Karena sejak dari kecil, dirinya  selalu berada di bawah bayang-bayang Sekar yang memiliki banyak kelebihan, yang cantik dan cerdas. Lalu, bapak pilih kasih dan mengabaikannya.
Pencarian Sekar tidak hanya menjadi sekedar pencarian saudari yang hilang bagi Mayang, tapi sekaligus menjadi tantangan untuk mencari jati dirinya sendiri. Menjawab segala keraguan dan rasa marah yang tertanam dalam dirinya sejak dulu terhadap Sekar.

Film ini tidak hanya mengangkat seputar TKW dengan segala data-data statistik yang mengiringinya. Lola berkat skrip matang yang ditulis Titien Watimena menghadirkan drama yang menyentuh dan mengharu biru. Ada adegan yang akan tanpa disadari menguras air mata dengan perlahan dan sentimental.

Cerita mengalir dengan balutan kisah nyata yang dialami oleh para TKW. Tidak ada yang mendapat kekerasan dari majikan, yang ada masalah personal lain yang jadi sorotan. Diantaranya, diperotin oleh kekasih asal Pakistan yang dipuja karena mirip Shah Rukh Khan, atau terlibat hubungan kasih sesama jenis. Persoalan utama datang dari perusahaan kredit yang seperti rentenir dan menjerat para TKW dengan rayuan pinjaman.

Sedari awal, film ini seperti mengangkat peran para TKW yang digambarkan dengan sosok yang tangguh dan tegar dengan segala persoalan yang dihadapinya. Meski ada juga yang putus asa dan tak kuasa menahan diri sampai melompat dari gedung tinggi. Semua persoalan dan lika-liku ini dibalut dengan penggarapan yang maksimal oleh Lola. Perpindahan adegan mengalir dengan baik dan berhasil mengaduk-aduk emosi.

Secara sinematografi, film ini juga menyuguhkan set dan penataan gambar yang memanjakan mata. Dari set perkebunan tebu di Jawa Timur hingga dibenturkan dengan kelap kelip lampu gedung megah di Hongkong. Keseharian dan seluk beluk yang dilihat TKW Hongkong hadir dengan segala detailnya.

Tak mengherankan kalau produksi film ini membutuhkan waktu hingga dua tahun dari mulai riset, syuting dan editing. Semuanya tergarap dengan baik. Tidak hanya skrip cerita, akting, dan sinematografi, tapi juga dari musik dan kostum. Semuanya saling dukung. Hingga usai menontonpun, film ini masih akan berkesan dan menempel di ingatan. Lola selangkah lebih maju setelah membesut Beth dan Betina. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar